PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Senin, 08 Februari 2016

PPMK MEMBAWA USAHA KAIN TENUNKU HINGGA KE BRUNEI DARUSSALAM






Oleh : Ellia Marliany, SE
Fasilitator Ekonomi Kab. Sambas
HP. 0852 5200 7969






Beralihnya isu program dari upaya penanggulangan kemiskinan menjadi penanganan kumuh melalui Program Penanganan Kawaaan Kumuh Perkotaan (P2KKP) tidak menghentikan langkah masyarakat untuk terus mengembangkan stimulan program yang berfokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan mereka. Sama halnya dengan masyarakat yang berada di Dusun Semberang 2, Desa Sumber Harapan, Kabupaten Sambas. Selama ini, mereka mengenal Program Peningkatan Penghidupan Masyarakat Berbasis Komunitas (PPMK) sebagai program bantuan dari Pemerintah dalam upaya meningkatkan usaha mereka. Program PPMK merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga yang berbasis pada kelompok atau komunitas dengan alokasi dana sebagai stimulan pengembangan usaha sebesar Rp 100 juta per Kelurahan/Desa.

Program ini juga bertujuan dalam menguatkan kelembagaan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) secara mandiri dan berkesinambungan yang berorientasi pada peningkatan penghidupan masyarakat miskin. Indikator keberhasilan dari program ini adalah selain terjadinya perubahan ekonomi kearah peningkatan yang positif dan adanya lapangan kerja, juga terbentuknya kelompok-kelompok KSM baru sebagai calon penerima manfaat.




Nurleli (46) warga Dusun Kabupaten Sambas. Nurleli merupakan salah satu anggota KSM Mandiri yang terdiri dari 5 orang, masing-masing memperoleh stimulan dana sebesar 5 juta pada tahap pencairan bulan Juli 2015 untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan usaha mereka, dengan tenggat pinjaman yang disepakati oleh KSM kepada UPK adalah 20 bulan.

Kepada kami Tim Fasilitator, Nurleli banyak bercerita tentang manfaat yang diperolehnya dengan hadirnya program bantuan dari pemerintah ini. Ia pun mulai bercerita mengenai dirinya yang dulu hanya seorang kuli dipasar yang dibayar dengan upah harian. Namun setelah mengenal PNPM MPk dan bergabung membentuk KSM di tahun 2011, ia pun memberanikan diri untuk membuka usaha kain tenun sendiri melalui Pinjaman Dana Bergulir atau lebih dikenal dengan pinjaman reguler yang diawali dengan pinjaman 500 ribu per anggota, kemudian meningkat pinjaman 1 juta per anggota, dan selanjutnya meningkat lagi menjadi 2,5 juta hingga sekarang di PPMK ia memperoleh pinjaman 5 juta yang berhasil mengantarkan kain tenun karyanya hingga ke Brunei Darussalam.

Selain kain tenun sambas, nurleli juga menghasilkan karya lainnya seperti kain tenun cual sebagai bahan untuk dijadikan baju, sarung bantal kursi, syal tenun, tas dan dompet yang semuanya berbahan dasar kain tenun. Untuk harga kain tenunnya sebesar 2,5 juta per satu set dan untuk kain cualnya dihargai 700ribu-900ribu per helainya. Omset sebulan dari usaha kain tenun Nurleli bisa mencapai 5 juta rupiah bahkan lebih. Dari berjalannya usaha tersebut ia mengaku tak khawatir apabila tak laku terjual, ia tetap memproduksi karya tenunnya karena sudah bermitra dengan Koperasi dan Dekranasda sebagai penampung hasil-hasil karya tenunnya.


Untuk memenuhi permintaan yang meningkat, kini ia telah memiliki karyawan. Bahkan jika permintaan semakin membludak dan tak tertangani, ia juga membagikan permintaan tersebut ke rekannya sesama profesi sebagai penenun kain. “Biase mun meningkatnye permintaan kain tenun, sampai saye dan karyawan saye ndaan bise tetangane’, supaye ndaan mengecewekan konsumen lalu saye kasi’kan ke kawan-kawan yang nenun jua, itung bagi-bagi rezeki,” Ucap ibu dari tiga orang anak ini dengan logat sambasnya yang khas.


Nurleli yang juga didukung penuh oleh sang suami, ia mengatakan bahwa dalam diri ini kita harus ada keberanian dalam mencoba segala hal untuk lebih baik, seperti dirinya mencoba untuk membuka usaha tenun sendiri, dan mencoba ide-ide kreatif dalam berinovasi dengan motif tenun sesuai permintaan pasar. “Sebenarnye yang nyuruh kite pintar tok beh si pemesan, die yang merintah kite mao motifnye gimane. Jadi dalam diri kite jangan pernah bilang ndaan bise, bilang ajak bise insyaAllah akan saye cobe”. Ujarnya.

Kain tenun nurleli hingga ke Brunei Darussalam bukan tanpa sebab, tapi karena modal pinjaman yang dimilikinya dari PPMK yang berhasil mengantarkannya untuk memproduksi kain yang lebih berkualitas dan membuat pembeli dari Brunei tertarik pada kain tenunnya. Motif kain yang biasa diminta pasar seperti motif Pucuk Rebung, Burung Enggang, Tugu Khatulistiwa, Melati, dan masih banyak lagi. Nurleli juga sering mengikuti permintaan motif yang disukai orang Brunei. Tentunya ini menjadi trend positif bila Nurleli dapat melakukan analisa usaha yang baik dan mengelola keuangannya melalui tata kelola pembukuan yang baik pula. Dan nurleli dapat menjadi contoh yang baik untuk seluruh calon peminjam yang sedang menjalankan usahanya ataupun yang sedang akan membuat usaha.




Contact Person: BKM Awang Senaii
Nama Ketua BKM:
Juliansyah (BKM Awang Senaii)
Alamat BKM

Kelurahan:
Desa Sumber Harapan
Kecamatan:
Sambas
Kab/Kota:
Kab. Sambas
Telp/HP:
0812.5715.2272





Kamis, 03 Desember 2015

Minggu, 26 Juli 2015

KEMISKINAN' & NIAT BAIK DI PAPUA

Dandhy Dwi Laksono

'KEMISKINAN' & NIAT BAIK DI PAPUA. Visualisasi seperti ini kerap membuat jatuh iba dan mengundang niat baik orang atau pemerintah melalui program 'pengentasan kemiskinan'.

Yang terpikir kemudian bagaimana bisa "meningkatkan taraf hidup" dan membuka lapangan kerja atau memberi pekerjaan "yang lebih baik". Bentuknya terbentang mulai dari program charity (hibah/santunan) hingga rencana investasi.

Sehingga visual yang diharapkan sebagai indikator keberhasilan menjadi seperti ini: istri Ketua Adat Malind-Deq di pedalaman Merauke ini mengenakan pakaian yang lebih baik, memasak di kompor di dapur sebuah rumah permanen (tak lagi di gubuk-ladang), memakai alas kaki dengan lantai semen atau keramik, mandi sehari dua kali, bahkan mungkin dibayangkan makan beras dan bukan sagu.

Padahal sejatinya kita merancukan dua hal: pertama, gagal membedakan antara kemiskinan dan gaya hidup, dan kedua, hanya melihat kemiskinan melulu pada soal daya beli (tak banyak pendapatan berupa uang).

Cara berpakaian, cara hidup, bahan pangan, konsep rumah, atau cara memasak adalah gaya hidup. Tidak ada sangkut pautnya dengan kemiskinan. Bila kita memberinya kompor dengan niat baik untuk membantu, justru kita menjerumuskannya dalam masalah: memaksa ia membeli minyak tanah atau gas, sementara aksesnya sulit dan butuh uang.

Nah, karena perlu uang, lalu muncul niat baik berikutnya untuk memberinya pekerjaan. Maka perlu dibuka lapangan kerja. Karena itu investasi perlu masuk. Salah satu caranya dengan memanfaatkan sumber daya alam seperti hutan, rawa atau lahan basah, dan kekayaan mineral yang ada di dalam tanah mereka.

Tanpa terasa, niat baik telah berubah menjadi rencana sistematis pemiskinan. Tanpa hutan, mereka yang tadinya mudah mencari kayu bakar, dipaksa membeli minyak tanah atau gas, meski kompornya gratis dari hibah. Tanpa kayu 'bus' atau rumbia, mereka yang semula bisa membangun rumah dengan bahan alami, dipaksa berhutang semen dan seng ke toko bangunan milik pendatang.

Tanpa dusun sagu, mereka yang semula tinggal menebang dan mengolah, harus membeli beras atau antre raskin. Dan tanpa sumber air alami, yang tadinya air gratis tinggal minum (tanpa perlu BBM untuk memasaknya), kini perlu membeli air kemasan atau tergantung pada PDAM yang kualitasnya tak layak konsumsi.

Pendek kata, semua hal yang tadinya gratis, kini harus dibeli. Karena harus membeli, maka harus punya uang. Karena tak boleh mencetak uang sendiri, maka harus masuk dalam sistem ekonomi 'modern' dan bekerja sebagai buruh tambang atau perkebunan. Yang punya tanah luas bisa hidup dari uang sewa atau ikut skema inti-plasma dan bagi hasil 80:20 atau 70:30 yang ditentukan investor kelapa sawit atau sawah tekno, tanpa kemampuan atau akses pada akuntansi perusahaan atau tax planning korporasi.

Sistem ekonomi kita sedang merancang seseorang yang tadinya "tinggal makan dan tidur", harus menempuh jalan yang jauh memutar agar bisa makan dan tidur dengan gaya standar orang lain.

Semua jebakan pemiskinan ini mungkin memang dimulai dengan niat baik. Padahal sesungguhnya siapa yang miskin? Mereka yang punya rawa dengan cadangan ikan berlimpah? Atau kita yang harus berkantor pagi pulang sore untuk membeli seiris tuna?

Kepada mereka lah kita harus iba. Bukan pada mama Barnabas Mahuze di Papua.

Ekspedisi Indonesia Biru