PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Jumat, 20 Maret 2015

Haru tapi bangga baca status ini



Haru tapi bangga baca status ini :

Saat2 ini pelaku Pnpm sedang dilanda ketidakpastian, saya sebagai Bkm Desa di Pnpm Perkotaan menyadari dan merasakan kagelisahan teman2 faskel semua
Kalau tidak salah hampir 3 bulan Gaji teman2 FasKel blm dibayar, padahal mereka memerlukannya uk mehidupi keluarga
Tapi yg saya rasakan teman2 FasKel di tempat kami (Pangandaran), mencoba menyembunyikan kegelisahan itu
Mereka selalu optimis dan tersenyum, karena ajaran itu yg ditanamkan ke kami
Mereka sampai detik ini tak pernah ...mengeluh didepan kami, masih all out mendampingi, mengarahkan dan menanamkan semangat memberi
Kami tahu kami berbahagia diatas duka mereka, berbahagia karena masih bersama, berduka karena tdk bisa berbuat apa2
Ah.... Andai yg duduk disana bisa mendengar bisikan hati kami
Kami Bkm tak meminta apa2 kami hanya ingin yg duduk disana membayar hak teman2 faskel kami
Itu secuil harapan kami

Kamis, 19 Maret 2015

Palembang, 18 Maret 2015

Yakinlah, Menulis itu Menyenangkan


Diinformasikan oleh:

Nurachmi Ayu Susanti

TA Sosialisasi

OC 2 Provinsi Sumatera Selatan   

PNPM Mandiri Perkotaan
Setiap bulan rutinitas saya sekarang adalah membaca satu per satu tulisan yang dikirimkan oleh
teman-teman Askot dari tujuh kota/kabupaten se-Provinsi Sumatera Selatan.
Tulisan-tulisan tersebut sekarang mewarnai hidup. Saya jadi semakin akrab dengan gaya-gaya penulisan
dari teman-teman fasilitator. Ada yang menulis dengan gaya serius. Ada juga yang menulis dengan
malu-malu. Beberapa malah menulis seperti orang sedang tersesat, kehilangan arah. Lalu yang lain menulis
seperti berada dalam “komidi putar”. Masih banyak gaya lainnya, yang jika saya antologikan, bisa
menghabiskan lebih dari ratusan paragraf. Tapi sungguh, saya acungkan jempol kepada usaha teman-
teman fasilitator dalam menulis, walau kadang unsur keterpaksaan terlihat jelas dari beberapa tulisan yang
disajikan.
Membayangkan bagaimana suasana hati teman-teman yang menulis tanpa meneguk rasa nikmat menulis,
membuat saya tersenyum miris. Berbekal alasan sekadar menggugurkan tanggung jawab, karena menulis
Best Practice merupakan salah satu kewajiban dan masuk sebagai salah satu laporan bulanan, membuat
tulisan-tulisan tersebut kehilangan ruhnya.
Saya tidak terlalu berharap akan menemukan tulisan Best Practice di antara berpuluh tulisan yang masuk.
Karena, ketika seseorang menulis tanpa dilandasi hati maka mustahil sebuah “Best Practice” muncul. 



Mari kita merenungkan sebentar. Jika diibaratkan dua orang
yang sedang berbincang, tulisan adalah ucapan atau
perkataan dari seseorang yang bercerita (penulis), dan
pembaca adalah orang yang diajak berbincang. Apa
asyiknya berbincang dengan orang terpaksa, memasang
muka bertekuk lima, yang sesekali mengeluh? Dapat
dipastikan jawabannya adalah tidak asyik!
Seperti itu juga yang terjadi dengan sejumlah tulisan yang
mampir via email setiap bulannya. Terkadang saya harus
mengeryitkan dahi untuk mengerti apa topik cerita yang
disajikan, karena kalimat demi kalimat yang disajikan tidak
membuat “enjoy” saat dibaca.

Melihat fenomena yang terus berulang setiap bulannya, sayapun berinisiatif, mencoba memberi arah kepada
teman-teman yang “tersesat”, dengan menentukan tema tulisan, bergilir di setiap bulannya. Ternyata hal ini
cukup efektif. Bravo! Sekarang tulisan teman-teman sudah lebih terarah dan fokus pada satu permasalahan,
walau permasalahan “tidak enjoy” kadang masih terlihat.
Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan di beberapa kota/kabupaten, ternyata permasalahan menulis,
yang juga menjadi permasalahan nasional ini, bersumber dari mispersepsi tentang makna “Best Practice”.
Yang terdoktrin di benak teman-teman fasilitator adalah “cerita terbaik”. Artinya cerita tersebut harus
bersumber dari kelurahan/desa yang “baik”, dari sisi keorganisasian dan kegiatan yang dilakukan.
Bagaimana dengan teman-teman fasilitator yang kebagian mendampingi kelurahan/desa yang bisa dibilang
“amburadul” dari sisi organisasi dan kegiatan? Nah, teman-teman inilah yang akhirnya mesti menulis
“Best Practice” sambil menekuk muka dan mengernyitkan dahi.
Padahal, tanpa disadari, “Best Practice” yang sesungguhnya lebih dekat kepada teman-teman pendampin
kelurahan/desa yang disebut “amburadul” tadi. Karena, ketika teman-teman melakukan suatu perbaikan
dari si wilayah “amburadul” ini, otomatis hal tersebut jadi bahan yang bisa diolah menjadi menu lezat
“Best Practice”. Hanya dengan menggunakan rumus 5W+1H sebuah tulisan Best Practice pun akan
tercipta.
Memang kita harus berpikir out of the box. Tapi jangan sampai kita berpikir terlalu “out” alias jauh,
sehingga hal yang di dekat malah terabaikan. Jangan terlalu sibuk memikirkan tema yang begitu bagus,
hingga akhirnya malah tak jadi menulis.
Menulislah dengan hati. Menulis dengan bersikap seperti kita berbicara kepada seseorang. Dengan
memerhatikan siapa yang kita akan ajak bicara. Itu akan membawa gaya tulisan kita. Seperti saat kita
berbicara dengan orang tua maka tulisan kita akan bergaya resmi. Sedangkan saat berbicara dengan teman
sebaya, tulisan kita akan lebih lebih santai.
Saya bukanlah seorang pujangga yang pandai merangkai kata. Saya juga pastinya tidak pantas jika harus
disebut sebagai seorang penulis, tapi saya suka menulis. Dengan membuat tulisan ini, saya hanya ingin
teman-teman pun merasakan nikmatnya menulis. Karena, sungguh, menulis itu sangat menyenangkan.
[Sumsel]
Editor: Nina Firstavina