PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Kamis, 16 Oktober 2014

UU Desa dan Nasib Pendamping

Madiun, 13 Oktober 2014


Oleh:
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.        
Askot CD Mandiri Kab. Madiun   
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan
Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Waktu yang melampaui satu periode masa kerja DPR. Perjuangan kepala desa yang mengatasnamakan warga desa seluruh Indonesia, yang tergabung dalam Forum Parade Nusantara, akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 8 Desember tahun 2013, DPR menyetujui Rancangan Undang-undang Desa (RUU Desa) menjadi UU. Pada 15 Januari 2014, akhirnya Presiden SBY mengesahkan RUU. Desa menjadi UU Desa No.6 tahun 2014. Sungguh fantastis, dana Rp1,4 miliar per tahun akan dinikmati oleh 72.000 desa seluruh Indonesia. Kesejahteraan warga desa menjadi orientasi pembangunan jangka panjang. Tampaknya, dalam setiap lembaran rezim, kesejahteraan warga utamanya warga desa atau pinggiran menjadi dagangan politik bagi para politisi. Sehingga, tidak heran manakala UU ini menjadi daya pesona bagi masyarakat bahwa Negara serius memikirkan kesejahteraan masyarakat desa.
Tentu UU Desa ini harus diapresiasi oleh kita semua. Semangat untuk memajukan desa dan mensejahterakan warga desa menjadi keniscayaan yang tidak bisa dibantah. Tidak ada dalil apapun yang bisa membantah bahwa UU Desa menjadi bukti dan political will bagi politisi dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan adanya UU Desa, endemik kemiskinan yang mendera masyarakat desa bisa dikurangi. Anggapan selama ini bahwa desa menjadi lumbung kemiskinan dan keterbelakangan di satu sisi menjadi absah adanya. Tetapi stigma tersebut tidak bisa dibiarkan secara berlarut-larut, sehingga menimbulkan kesan bahwa desa menjadi hunian masyarakat yang memiliki SDM rendah, pendapatan rendah dan keterbelakangan permanen. Maka ikhtiar UU No. 6/2014 ini bisa menjadi katarsis dalam mengakselarasi kesejahteraan masyarakat desa
Melihat fakta tersebut, maka UU Desa menjadi solusi cerdas agar kesejahteraan masyarakat desa segera terwujud. Pun, di satu sisi UU Desa mampu membendung arus urbanisasi, yang selama ini jumlahnya fantastis setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena kota, terutama kota-kota besar menjadi tumpuan mata pencaharian hidup yang dinilai mampu menyulap pendapatan dari desa ke kota. Hijrahnya masyarakat desa ke kota karena kota dinilai mampu menjadi alternatif dan bisa mengubah kisah sedih yang menderanya selama di desa.
UU Desa dan Program Pemberdayaan
Banyak hal yang perlu dikaji dan dicermati di saat UU Desa ini disahkan. Mengalirnya dana senilai Rp1,4 miliar tidak secara linear menyelesaikan aneka masalah yang mendera desa. Pasal 72 menyita perhatian publik karena desa nanti akan banyak kelimpahan dana yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakatdesa. Tentu tak hanya berhenti di situ. UU Desa juga berimplikasi terhadap program pemberdayaan dimana selama ini sudah berjalan 15 tahun lebih. Program berbasis masyarakat ini seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK) lahir pada tahun 1998, sementara Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) lahir pada tahun 1999. Keduanya bermetaformosis menjadi PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan pada tahun 2007, saat SBY me-launching program ini di Palu. UU Desa, di satu sisi dinilai menjadi sinterklas atau Imam Mahdi yang akan menyelamatkan masyarakat desa dari penyakit kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi di lain pihak, UU Desa melahirkan kecemasan, keraguan, kekhawatiran kebingungan, utamanya bagi pendamping atau konsultan pemberdayaan, dimana selama ini menjadi tumpuan dan mata pencaharian hidup.
Keraguan atau kecemasan bagi buruh PNPM ini tentu sangat logis. Jika UU Desa diterapkan dan PNPM sudah tutup buku, bagaimana dengan nasib para pendamping? Ribuan bahkan jutaan pendamping, baik pendaping PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM Perkotaan, akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan jika dengan diterapkannya UU Desa ini tenaga pendamping tidak digunakan. Maka ledakan pengangguran S1 atau bahkan S2 tak bisa dielakkan.
Selama ini pelaku PNPM dengan berbangga hati mengatakan sebagai pemberdaya, bahkan pemberdaya sejati. Tetapi tesis itu terbantah manakala melihat fakta saat ini UU Desa segera diterapkan. Ungkapan sebagai pemberdaya bagi pelaku PNPM tak selantang dua tahun yang lalu sebelum UU ini disahkan.
PNPM Di Persimpangan Jalan, Kemana Lagi Kita?
Tema di atas menjadi tema Komunitas Belajar Internal Konsultan (KBIK) Forum Kordinator Kota (Koorkot) dan Asisten CD Mandiri sejawa Timur yang berlangsung di Kota Batu Malang, pada 15-16 Oktober 2014. Tema tersebut mengesankan bahwa kita sebagai pelaku hanya mampu berkeluh-kesah, berseloroh kepada teman sejawat kita yang terombang-ambing karena nasib kita tidak tahu juntrungannya. Tentu kita hanya bisa berkeluh-kesah, karena kapasitas kita hanya sebagai pendamping: jika yang menugaskan kita sudah tidak membutuhkan, jika yang didampingi sudah berdaya atau mandiri, otomatis pekerjaan kita selesai. Logika sederhana ini kadangkala bisa menjadi salah satu dalil bahwa kita berakhir jika masyarakat sudah berdaya.
Tetapi tak segampang itu Negara memperlakukan kita, pelaku atau konsultan pemberdayaan yang jumlahnya mungkin jutaan, juga sebagai warga Negara yang harus dipikirkan nasib dan kesejahteraannya. Kalkulasi matematika, jika pelaku program jumlahnya satu juta dan memiliki tanggungan empat jiwa, maka ada sekita 4 juta jiwa dalam kondisi rentan atau memasuki miskin relatif. Tak lupa pula bahwa KBIK juga membahas mengenai sertifikasi para pelaku program di Jatim yang sampai saat ini belum tahu rimbanya. Sertifikasi bagi pekerja sosial seperti pelaku program sebagai bukti riil bahwa para pelaku memiliki kompetensi dalam melakukan fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat.
Banyaknya keraguan dan kekwatiran pelaku pendamping itu sedikit bisa terobati dengan adanya Peraturan Pemerintah No.43 tahun 2014. Salah satunya adalah pasal 128 ayat (1) pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan (2) Pendampingan masyarakat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan/atau pihak ketiga. (3) Camat atau sebutan lain melakukan koordinasi pendampingan masyarakat desa di wilayahnya.
Sementara itu, dalam pasal 129 ayat (1) point (c) tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang bertugas meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Ayat 2 menyebutkan "Pendamping" sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan/atau teknik
Tidak hanya PP No. 43 itu, jauh sebelumnya UU N0. 13/2011 mengenai penanganan fakir miskin sejatinya sudah menjadi acuan bagi kita sebagai pendamping. Pasal 33 menyebutkan sumberdaya manusia penyelenggaraan penanganan fakir miskin dilakukan oleh tenaga penanganan fakir miskin yang terdiri dari (a) Tenaga Kesejahteraan Sosial (b) Pekerja Sosial Profesional (c) Relawan Sosial (d) Penyuluh Sosial dan (e) Tenaga Pendamping
Tentu berbagai tafsir terhadap UU Desa tidak bisa dihindari. Utamanya dengan keberlangsungan PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM Mandiri Perkotaan. Sejumlah aset dan kelembagaan program yang selama ini menjadi pengelola program dalam membantu warga miskin tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, harapan kita semua bahwa program PNPM bisa saja berakhir bersama rezim SBY, tetapi program pemberdayaan itu tidak sekedar musiman atau bersifat sementara. Semoga. [Jatim]
Editor: Nina Firstavina

Rabu, 15 Oktober 2014

Tahun Balas Budi

Sawahlunto, 15 Oktober 2014


Oleh:
Dian Puspita, ST
Askot CD 
Korkot-2 Sawahlunto
OC 1 Prov. Sumatera Barat 
PNPM Mandiri Perkotaan
Tahun 2014 digadang-gadang sebagai tahun akhir pendampingan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Apakah nanti akan bertransformasi bertahap sebagai program baru, atau alih kelola kepada Pemerintah Daerah, yang pasti menjelang kepemimpinan baru kepastian itu masih dalam pembicaraan.
Dalam situasi ini semua seakan berlomba untuk memaksimalkan pendampingan di semua bidang. Guna menghadapi hal tersebut disusunlah berbagai strategi serta penajaman kembali pola-pola pendampingan yang bermuara pada target-target yang harus dicapai sampai akhir tahun 2014, baik target jangka panjang maupun jangka pendek, dengan rentang yang semakin sempit. Bahkan hitungan tidak lagi bicara semester atau triwulan, namun hitungan mundur sudah memasang satuan minggu, guna melihat perkembangan kinerja pendampingan ke arah lebih baik. Dan tombol “on” sudah mulai dijalankan.
Sementara itu ,pendamping program sudah mulai kasak-kusuk memikirkan akan jadi apa dan akan kemana pasca 2014 nanti. Hal tersebut manusiawi memang, teringat keluarga yang menjadi tanggungan atau kredit yang belum lunas, atau bulanan yang biasanya diterima setelah ini tak diterima lagi. namun terkadang kita memang egois, disamping alasan pribadi tersebut masih ada sisi lain yang terkadang kita lupa. Ibarat sebuah mata uang, ada dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, harus saling seimbang antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
Pernahkah kita berpikir sejenak, apakah masyarakat miskin yang sudah kita dampingi bertahun-tahun sudah merasakan perubahan atau mereka hanya jadi sasaran objek proyek pendampingan kita—walaupun di awal mengusung konsep masyarakat sebagai subjek, bukan objek. Dan jika kita lihat, berapa persen dari dampingan kita yang benar-benar mandiri untuk mampu jalan sendiri sebagai lembaga yang dewasa yang bisa menentukan sikap dan arahnya ke depan tanpa meninggalkan nilai-nilai yang sudah ditanamkan selama pendampingan. Atau mungkin masih banyak lembaga kita yang masih dominan bergantung pada peran pendamping, yang masih labil dan setiap melangkah masih perlu dibimbing bahkan dipapah.
“Kita ada karena mereka (masyarakat miskin)”. Jika kita renungkan sejenak, agaknya kalimat tersebut sangat pas untuk menggambarkan keberadaan kita. Bisa beli laptop dan motor karena mereka, bisa kredit rumah juga karena mereka bahkan lebih jauh lagi, kita bisa makan layak tiap hari juga karena mereka. Sehingga kesimpulannya darah yang mengalir saat ini di tubuh kita juga atas bantuan mereka.
Bukan bermaksud mengabaikan nasib ke depan, tapi alangkah baiknya jika dibarengi juga dengan memikirkan mereka yang akan kita tinggalkan. Sebenarnya siapakah yang paling khawatir jika PNPM Mandiri Perkotaan akan berakhir? Memang jika mau jujur, yang paling takut PNPM berakhir bukanlah masyarakat miskin yang jadi sasaran utama Program ini, tetapi sebaliknya.
Apakah pernah kita berpikir apa yang bisa kita tinggalkan pada mereka, apa yang bisa diubah lebih baik dan apa yang bisa dilakukan untuk menyentuh mereka. Karena tanpa bisa dipungkiri perubahan perilaku yang awalnya diusung tidak lebih besar dibanding perubahan fisik (hasil Tridaya BLM) yang ada di masyarakat.
Waktu belum terlambat, masih ada waktu untuk balas budi kepada mereka. Kita sangat familiar dengan hadits yang berbunyi,“Khoirunnas anfa'uhum linnas”—sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dan dalam kisah lain juga disebutkan bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah  dan amal apakah yang paling dicintai Allah, SWT?”  Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia lain dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan.”
Mungkin hal di ataslah yang bisa menyemangati dan mendorong kita agar bisa berbuat lebih kepada mereka yang memang menjadi tanggung jawab kita sebagai pendamping dan lebih dari itu tanggung jawab kita sebagai seorang manusia. Jika seandainya tak mampu untuk berimprofisasi lebih, paling tidak kita benar-benar menjalankan kewajiban yang memang menjadi tugas dan tanggung jawab sebagai pendamping. Sekali lagi, jadilah manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya.
[Sumbar]
Editor: Nina Firstavina

Kampung Habitat Diyakini Bisa Capai Target 100-0-100


Oleh:
Tristiani Susanti TA Mass Comm & PR
KMP wil. 1
PNPM Mandiri Perkotaan  
Esensi Hari Habitat Sedunia, sebagaimana pesan Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Imam S. Ernawi, diselenggarakan dari, untuk dan oleh masyarakat itu sendiri. Dalam acara yang bertema “Suara dari Masyarakat Kumuh” (voices from slums), masyarakat diajak untuk membiasakan hidup bersih dan sehat menuju lingkungan yang kondusif. Di antaranya, jangan buang sampah sembarangan dan saling mengingatkan tetangga kiri kanan untuk bersama-sama menjaga lingkungan.
Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat adalah pembersihan selokan, taman vertikal, peninggian jalan, gorong- gorong, serta pengecatan. Dari kegiatan itu semua, diharapkan bukan hanya bisa memperindah lingkungan saja namun juga bagaimana masyarakat bersama-sama menjaga prasarana yang diperbaiki dapat tetap dimanfaatkan minimal sampai 5 tahun ke depan.
Sebagaimana diketahui, program Penataan Kampung Habitat di Jalan Intan RW 09, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara merupakan Kampung Habitat Pertama di Indonesia. "Tujuan lain dari kegiatan Penataan Kampung Habitat antara lain meningkatkan kesadaran bersama mengenai kondisi kehidupan di kawasan permukiman kumuh," tutur Imam Ernawi.
"Penataan kampung menjadi bagian dari upaya penanganan kawasan permukiman kumuh di Indonesia. Ditargetkan permukiman kumuh berkurang menjadi 0%, bersamaan dengan target meningkatnya cakupan layanan air minum menjadi 100%, dan akses sanitasi layak 100% pada 2019," ungkap Imam S Ernawi.
Ia mencontohkan, Penataan Kampung Habitat sebagaimana dilaksanakan di sejumlah daerah, seperti di Jakarta Utara, merupakan contoh program yang dapat mewujudkan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi anggota masyarakat yang bertempat tinggal di daerah kumuh. Selain itu, lanjutnya, program tersebut dinilai juga akan memberikan dampak sosial dan ekonomi yang besar.

Sedangkan tujuan lainnya adalah mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat dalam penanganan kawasan kumuh, serta mengembangkan suatu model sinergi antar pemangku kepentingan yang bekerja sama meningkatkan sarana dan prasarana suatu kawasan dari yang sebelumnya kategori permukiman kumuh menjadi permukiman layak huni dan berkelanjutan.

Pada perayaan Hari Habitat Sedunia tahun 2014 ini, diserahkan pula secara simbolis dana Master Plan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) senilai Rp433.250.000. Dana ini dialokasikan untuk kegiatan infrastruktur dan peningkatan kapasitas warga khususnya di Kelurahan Pejagalan yang lebih terkenal dengan wilayah Teluk Gong. Selepas acara penyerahan dan kata sambutan dari Kepala Dinas Perumahan Jonathan yang berisikan informasi adanya perencanaan penataan wilayah DKI Jakarta, di Jakarta Utara khususnya. Maka prioritas untuk Kelurahan Pejagalan adalah bagaimana mensinergikan rencana pembangunan rumah rumah susun untuk relokasi penduduk yang terkena relokasi lahan guna memaksimalkan lahan terbuka hijau dan area jalan inspeksi di sepanjang Bantaran Kali Banjir Kanal Barat. Sehingga tercipta lingkungan yang indah dan fungsional.
Sebagai pengingat, target 100-0-100 yang mulai dikenalkan oleh Kementerian PU adalah target yang tercantum dalam rancangan RPJMN 2015-2019. Yang dimaksud adalah target 100% akses air minum, 0% kawasan permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak. [KMP-1]
Dokumentasi lainnya:
Editor: Nina Firstavina

Senin, 13 Oktober 2014

PPRBK Harus Menjadi Program Mainstream

Oleh:
Muhammad Ridwan 
Askorkot Mandiri
Kabupaten Lampung Utara
OC 2 Provinsi Lampung
PNPM Mandiri Perkotaan

Media Warga Online, Bandar Lampung - Provinsi Lampung  sebagai wilayah kategori rawan bencana alam, tahun ini mendapat Program  Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) yang didanai oleh Bank Dunia. Pelaksanaan program ini dilaksanakan melalui PNPM Mandiri Perkotaan dan merupakan program rintisan.  Di Indonesia, hanya ada empat Kota yang mendapatkan program rintisan ini, yakni Kota Bandar Lampung, Kota Padang, Kota Manado dan Kota Surabaya.

Khusus untuk Kota Bandar Lampung, program rintisan PRBBK  dilaksanakan di Kelurahan Panjang Selatan di Kecamatan Panjang, Kelurahan Pesawahan di Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kelurahan Sukamaju dan Kelurahan Keteguhan di Kecamatan Teluk Betung Barat. Empat Kelurahan tersebut akan mendapatkan Bantuan Langsung masyarakat (BLM) yang bersumber dari Bank Dunia sebesar Rp500 juta per kelurahan. Program PRBBK  Kota Bandar Lampung dikhususkan untuk program mitigasi terhadap ancaman bencana tsunami yang diakibatkan gempa vukanik dari letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda.

Melalui program PRBBK atau Grand Program of Community Based Disaster Risk Reduction (PCDRR), diharapkan dapat meminimalisir tingkat korban jiwa dan kerusakan harta benda masyarakat disekitar lokasi potensi bencana tsunami. Dengan program ini masyarakat akan lebih siap dalam menghadapi bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Saat ini bencana tsunami yang di akibatkan oleh gempa tektonik maupun gempa vulkanik di bawah permukaan laut, menjadi ancaman serius bagi  negara kepulauan seperti Indonesia. Sampai saat ini belum ada teknologi  yang dapat  memprediksi kapan akan terjadinya bencana tersebut. Walaupun sudah ada Early Warning System, tapi belum efektif meminimalisir dampak dari kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tsunami. Khususnya korban jiwa manusia.

Dalam rangka persiapan pelaksanaan Program PRBBK di Provinsi Lampung, Bank Dunia melakukan supervisi ke Kota Bandar Lampung pada tanggal 2-3 Oktober 2014. Tim Supervisi Bank Dunia terdiri atas Kumala Sari (bagian program), Djumadi Achmad (bagian keuangan) dan Azrin Raswin (Tenaga Ahli PRBBK Bank Dunia). Hari pertama, 2 Oktober 2014, Tim supervisi Bank Dunia melakukan Kick Off Meeting di Kantor Oversight Consultan (OC-2) PNPM Mandiri Perkotaan Provinsi Lampung diteruskan dengan kunjungan lapangan di Kelurahan penerima program PRBBK. Hari kedua, 03 Oktober 2014, Tim Supervisi melakukan rapat koordinasi dengan Tim Koordinator Kota Bandar Lampung dan Tim Fasilitator PNPM Mandiri Perkotaan, kemudian dilanjutkan dengan rapat evaluasi hasil Supervisi di Kantor OC-2.


Rapat Evaluasi hasil Supervisi
Bank Dunia di Kantor OC-2 Lampung
Dalam rapat evaluasi hasil supervisi, Tim Bank Dunia melalui Kumala Sari menyatakan besarnya dampak risiko bencana alam,  harus menjadi  perhatian semua pihak, sehinga internalisasi program pengurangan risiko bencana harus menjadi program arus utama atau mainstream. "Memang tidak mudah melakukan proses  internalisasinya kepada masyarakat. Pengarusutamaan itu bisa dimulai dari pemerintah daerah, dengan memasukan program mitigasi bencanai masuk ke dalam sistem perencanaan pembangunan, sehingga pemerintah memiliki rencana kontingensi jika terjadi bencana alam," kata Kumala Sari. Pun, di tingkat grassroot, harus memiliki rencana kontigensi berbasis komunitas, sehingga masyarakat memahami "Community Disaster Management" (CDM), tambahnya.
Tim Supervisi Bank Dunia menegaskan, mitigasi dan manajemen bencana bisa dilaksanakan dengan baik jika masyarakat memiliki Rencana Tindak Pengurangan Risiko Bencana (RTPRB) yang berkualitas dan mengacu  dengan rencana tindak  mitigasi dan pengurangan risiko bencana pemerintah daerah setempat. Tantangan terbesar dari program pengurangan risiko bencana alam adalah internalisasi pemahaman kepada masyarakat, agar kesadaran akan risiko bencana menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat. Proses internalisasi pemahaman  pengurangan risiko bencana kepada masyarakat bisa dimulai dengan edukasi kepada anak usia sekolah, mulai TK hingga SMA. 
"Rencana tindak pengurangan risiko bencana sementara ini sering diputuskan oleh elite capture, khususnya pemerintah pusat, daerah dan elit masyarakat setempat. Sedangkan  masyarakat luas belum dilibatkan. Ini  yang menyebakan ada gap pemahaman tentang risiko bencana. Oleh karena itu Program Pengurangan Risiko Bencana harus melibatkan komunitas, sehingga pemahaman akan besarnya bahaya bencana alam, khususnya tsunami, terinternalisasi kepada masyarakat dan menjadi bagian dari habbit atau budaya baru masyarakat setempat," tegas Kumala Sari, seraya menutup paparan hasil evaluasi supervisi.

Rapat evaluasi supervisi Bank Dunia berakhir pukul 18.30 WIB dengan rekomendasi RTPRBBK Kota Bandar Lampung harus disempurnakan dengan perencanaan yang lebih rigid. [Lampung]

*Coretan pena, hasil mendengar  diskusi dengan Bank Dunia, Jum'at sore (03 Oktober 2014) di Kantor OC-2 Lampung

Sumber: www.pnpm-perkotaan.org
Editor: Nina Firstavina