PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Jumat, 19 September 2014

City Changer, Apakah Itu?



Oleh:
Nina Firstavina, SE 
Editor Web
PNPM Mandiri Perkotaan   

Setelah Undang-undang (UU) Desa menjadi hot topic, kini ada “City Changer” yang kerap dibahas di kalangan PNPM Mandiri Perkotaan. Apalagi, dalam waktu relatif singkat, seleksi City Changer sudah harus siap dilaksanakan. Untuk itu surat dari Konsultan Manajemen Pusat (KMP) bernomor 15/NMC/PNPM-Perkotaan/IX/2014 per tanggal 10 September 2014 diluncurkan kepada Program Director (PD) dan Team Leader (TL) Konsultan Manajemen Wilayah (KMW)/OSP 5 sampai 10 (wilayah 2). Surat tersebut berisi perihal Fasilitasi Pemilihan Nominasi City Changer sebagai Calon Peserta Program Matrikulasi Nasional dalam rangka Hari Habitat. Tapi, apa sih City Changer itu sebenarnya?
City Changer adalah para relawan yang layak dinominasikan untuk mengikuti program matrikulasi Nasional dalam rangka peringatan Hari Habitat. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum. Sebenarnya City Changer tidak hanya dilakukan di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Ini terkait tantangan abad 21, yaitu pertambahan jumlah penduduk yang pindah ke kota,” ujar Tenaga Ahli Komunikasi Massa KMP PNPM Mandiri Perkotaan wilayah 2 Iroh Rohayati Fatah. Hal itu dikatakannya dalam kegiatan Kelompok Belajar Internal Konsultan (KBIK) KMP PNPM Mandiri Perkotaan di Kantor KMP Wilayah 2, Jalan Danau Toba F3/8, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada Selasa, 16 September 2014. KBIK tersebut dihadiri oleh seluruh TL, Tenaga Ahli (TA), dan Sub TA KMP PNPM Mandiri Perkotaan, baik wilayah 1 maupun wilayah 2.

Haripras (kanan) menjelaskan mengenai pengertian dan implementasi City Changer
Melanjutkan penjelasan di atas, Hari Prasetyo dari Advisory PNPM Mandiri Perkotaan menegaskan, sebelum memasuki pengertian City Changer, kita harus pahami dulu UU no.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. “Istilah City Changer diterjemahkan menjadi beberapa istilah. Salah satunya, yang kita gunakan, adalah Penggiat Permukiman Berkelanjutan. Dan, mengingat kita bergerak di Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) dalam Ditjen Cipta Karya, mari kita melihat UU ini dari definisinya,” kata dia.
Dimulai dari Pasal 1 UU No.1/2011, disebutkan mengenai definisi perumahan, kawasan permukiman, dan lingkungan hunian. Kawasan Permukiman berarti bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasaan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan Lingkungan Hunian adalah bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman. DefinisiPermukiman sendiri adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasaran, sarana, utilitas umum serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. AdapunPerumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
Sementara itu, Permukiman Kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. SedangkanPerumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.
Secara ringkas, gambar berikut dapat meringkas definisi mengenai kawasan permukiman, lingkungan hunian, permukiman dan perumahan. 
Berangkat dari UU tersebut, ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia harus mendapatkan atau dipenuhi kebutuhan infrastruktur dasar dan pelayanan sarana prasarana minimumnya. Di antaranya adalah air bersih, bebas dari permukiman kumuh dan sanitasi yang layak. Inilah yang dijadikan target kegiatan, yang dikenal dengan istilah “100-0-100”, yakni 100% air bersih, 0% kumuh, dan 100% sanitasi
Adapun definisi air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan akan menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum. Persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik, kimia, biologi dan radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping. (Sumber: Permenkes No.416/Menkes/PER/IX/1990).
Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan air bersih syarat yang harus dipenuhi ada tiga: (1) persyaratan kualitatif: berkualitas baik dan layak, (2) persyaratan kuantitatif: tersedia dalam jumlah yang mencukupi—bisa dengan konservasi air minum dan bak penampung, dan (3) persyaratan kontinuitas: tersedia pada saat dibutuhkan.
Mengenai permukiman kumuh, berdasarkan Pasal 94 – 117 UU No.1/2011, fokus yang bisa dilakukan PNPM Mandiri Perkotaan adalah pada sisi pencegahan, melalui pengawasan, pengendalian dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan sisi peningkatan kualitas permukiman dan perumahan melalui pemugaran, peremajaan dan permukiman kembali.
Sedangkan definisi sanitasi, menurut Dr. Azrul Anwar, MPH, sanitasi adalah cara pengawasan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mungkin memengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Jadi, sanitasi lebih fokus kepada bentuk kegiatannya, sedangkan hygiene (sehat) adalah tujuannya.
Kondisi yang diharapkan dari diterapkannya 100% sanitasi ini adalah ada lagi Buang Air Besar Sembarangan (BABS), mengelola air minum dan makanan yang aman, mengelola sampah dengan benar, dan mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman. Itu semua dilakukan melalui peningkatan kesadaran masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan penyediaan sarana dan prasarana sanitasi.

KBIK KMP diikuti oleh seluruh TL, TA dan Sub TA KMP PNPM Mandiri Perkotaan wilayah 1 dan 2
Mungkinkah 100-0-100 dicapai?
“Mungkin saja,” tegas Haripras—panggilan akrab Hari Prasetyo. Berangkat dari visi yang dirumuskan secara Nasional dalam RPJMN 2015-2019, yakni terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Menindaklanjuti itu, dalam arahan RPJMN Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan visi tersedianya infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman yang andal untuk mendukung Indonesia sejahtera 2025.
Dari situ, di-breakdown secara rinci lagi oleh Ditjen Cipta Karya yang merumuskan visi terwujudnya permukiman perkotaan dan perdesaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutnan melalui penyediaan infrastruktur yang andal dalam pengembangan permukiman, pengembangan sistem penyediaan air minum, pengembangan lingkungan permukiman dan penataan bangunan dan lingkungan. Untuk itu Ditjen Cipta Karya memasang target 100-0-100 yang harus dicapai pada akhir tahun 2019.
Bagaimana mencapainya? Grafik berikut menjelaskan baseline data (data acuan dasar).
City Changer menjadi Jawaban Tantangan
Seperti yang dikatakan Iroh Rohayati sebelumnya, di atas, City Changer hadir sebagai salah satu upaya menjawab tantangan dan permasalahan permukiman di perkotaan. Yakni, pertama, arus urbanisasi yang tidak terkendali, berpotensi meningkatkan permukiman kumuh baik di area tanah legal (slum area) maupun tanah yang ilegal (squatters area). Kedua, tingginya laju pertumbuhan penduduk di perkotaan akan menghambat target pemenuhan layanan infrastruktur dasar, seperti penyediaan perumahan, air minum dan sanitasi. Ketiga, angka kemiskinan yang tinggi di perkotaan, cenderung menambah kawasan/permukiman kumuh. Keempat, kesenjangan masyarakat yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial.Kelima, minimnya ketersediaan utilitas umum yang mendorong penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukkannya. Dan keenam, menurunnya kualitas fungsi perumahan dan/atau permukiman.
Sementara itu, target 100-0-100 ini akan dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan: Pemda, swasta, akademisi, masyarakat umum, yang kemudian disebut sebagai City Changer. Adapun komitmen Ditjen Cipta Karya untuk mendukung para Penggiat Permukiman Berkelanjutan (City Changer ) yang selama ini telah melakukan berbagai aktivitas nyata di lapangan, melalui berbagai penguatan kapasitas serta insentif lainnya dalam rangka peningkatan wawasan dan kemampuan berkolaborasi dengan stakeholder lainnya.
City Changer berperan sebagai motivator, dinamisator, inovator, kolaborator dan implementator, dengan kesadaran dan kepedulian. Melalui city changer, yakin terwujud permukiman yang layak huni, produktif dan berkelanjutan,” ujar Haripras.
Senada dengan yang diungkapkan Haripras, leader dari Tim Advisory Arief Rahadi, yang juga hadir dalam KBIK mengatakan, City Changer dalam pembangunan kota merupakan pelengkap P2KP. Apalagi City Changer memiliki ciri khas P2KP, yaitu kerelawanan/kepedulian, pro poor, dan merupakan gerakan bersama. “Untuk itu, sebaiknya gerakan ini dilakukan secara inklusif, tidak eksklusif. Dalam arti, ada keterpaduan, bekerja sama dengan sektor lain yang bergerak di entitas lingkungan, dan tetap harus melestarikan lingkungan,” katanya.
Dan, ada tantangan baru dalam hal, yaitu bagaimana mendampingi masyarakat tanpa BLM. “Karena memang nantinya tidak ada BLM. Tidak lagi ada siklus BLM, melainkan langsung channeling. Jangan sampai PHP—Pemberi Harapan Palsu,” tandas Arief Rahadi. Pada hakikatnya yang terpenting dalam mencapai target 100-0-100 bukan soal kegiatan fisiknya, melainkan soal akses (accessability).
Adapun lebih lanjut mengenai City Changer, menurut Surat KMP No. 15/NMC/PNPM-Perkotaan/IX/2014, program matrikulasi akan dilaksanakan pada 28 September sampai 1 Oktober 2014. City Changer berasal dari kalangan masyarakat luas, semisal aktivis LSM, mahasiswa, aktivis perempuan, aktivis Ormas—termasuk Ormas keagamaan, birokrat atau kalangan aparat pemerintah yang memiliki kepedulian sebagai relawan pembangunan perkotaan di luar TUPOKSI-nya, dan unsur komunitas lainnya. Syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk bisa menjadi nominasi City Changer adalah pertama, memiliki pemahaman dan kepedulian pembangunan perkotaan, baik melalui pemikiran-pemikiran maupun pengalaman aksi nyata di lapangan. Kedua, bersedia menyampaikan tulisan ringkas tentang visi dan cita-cita pembangunan permukiman perkotaan, pemahaman tentang persoalan pembangunan perkotaan, pengalaman keikutsertaan dalam pembangunan dan pemikiran manajemen pengelolaan pembangunan permukiman perkotaan. Ketiga, dinilai layak menjadi peserta program matrikulasi nasional City Changer oleh Panitia Seleksi Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Ditjen Cipta Karya, Kementerian Umum. Selengkapnya, silakan baca: Surat KMP 15/NMC/PNPM-Perkotaan/IX/2014: Fasilitasi Pemilihan Nominasi City Changer.
Apakah Anda orangnya?
Masih ada dua topik lagi yang dibahas dalam KBIK ini. Silakan simak beritanya di website ini. [Redaksi]
Rincian mengenai City Changer bisa dilihat dalam presentasi “Pengertian dan Implementasi City Changer” (format pdf, ukuran 2,2 MB)

Kemitraan Bisa Jadi Kunci Sukses Target 100-0-100


Oleh:
Nina Firstavina, SE 
Editor Web
PNPM Mandiri Perkotaan   

Total kebutuhan untuk mencapai target 100-0-100 adalah sebesar Rp770 triliun. Namun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu menyediakan sekitar sepertiganya. Mengatasi ini, kemitraan diyakini bisa menjadi salah satu kunci sukses pencapaian target 100-0-100.
Hal tersebut diungkapkan Tenaga Ahli (TA) Human Resource Management (HRM) KMP PNPM Mandiri Perkotaan James Manopo pada kegiatan Kelompok Belajar Internal Konsultan (KBIK) Konsultan Manajemen Pusat (KMP) PNPM Mandiri Perkotaan sesi kedua. Sebelumnya, sesi pertama, materi yang dibahas adalah mengenai “Pengertian dan Implementasi City Changer” oleh Hari Prasetyo dan Arief Rahadi dari Advisory PNPM Mandiri Perkotaan. KBIK yang dihadiri oleh seluruh Team Leader (TL), TA dan Sub TA KMP wilayah 1 dan 2 itu dilangsungkan di Kantor KMP PNPM Mandiri Perkotaan wilayah 2, Jl. Danau Toba F3/8, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada Selasa, 16 September 2014.
Pada sesi kedua ini James Manopo membawakan materi “Mengintip 100-0-100”, bersumber Buletin Cipta Karya Edisi 07/XII/Juli 2014. Ia memaparkan pula mengenai isu strategi untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan. Ada empat poin yang menjadi pemicu lahirnya target 100-0-100 ini: (1) rendahnya layanan air minum aman, (2) rendahnya layanan sanitasi layak, (3) meluasnya kawasan kumuh, (4) penanggulangan kemiskinan.
Mengingat visi Ditjen Cipta Karya adalah mewujudkan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, maka target pemerintah bidang keciptakaryaan yang dituangkan dalam RPJMN ke-3 tahun 2015-2019 adalah 100% capaian pelayanan akses air minum, 0% proporsi rumah tangga yang menempati hunian dan permukiman tidak layak (kumuh) di kawasan perkotaan, dan 100% capaian pelayanan akses sanitasi. Target ini disebut sebagai Key Performance Indicator 100-0-100. Menunjang target tersebut, dibutuhkan fasilitasi pembangunan prasarana dan sarana dasar permukiman, yakni air minum, sanitasi, jalan lingkungan, peningkatan kualitas permukiman dan penyediaan Rusunawa. Dalam hal ini, fokus P2KP/PNPM Mandiri Perkotaan, kegiatan dilaksanakan dengan model pemberdayaan. Mulai dari perencanaan sampai dengan operasional dan pemeliharaan infrastruktur.
Mengenai pemahaman Kawasan Kumuh dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
Terdapat enam aspek kawasan kumuh, yakni (1) kondisi bangunan hunian, (2) kondisi aksesibilitas, (3) kondisi drainase, (4) kondisi pelayanan air minum, (5) kondisi pengelolaan air limbah, dan (6) kondisi pengelolaan persampahan. Kondisi ini harus ditangani dengan prioritas tertentu. Untuk penanganan kondisi kekumuhan, prioritasnya adalah kawasan kumuh strategis di kota/kabupaten dan kota/kabupaten Kawasan Strategis Nasional (KSN). Sedangkan untuk air minum dan sanitasi, diprioritaskan pada kawasan regional dan daerah rawan air.
“Jadi, apa yang bisa dan harus dilakukan sampai April 2015, sehingga bisa berkontribusi maksimal dan optimal dalam memenuhi target 100-0-100 ini? Ataukah kita menunggu dan berbuat sampai dengan ombak tenang?” cetus James Manopo sambil mengakhiri sesinya. Berikutnya adalah sesi materi “PLPBK sebagai Model Implementasi 100-0-100”, akan ditayangkan dalam berita selanjutnya di website ini. [Redaksi]

Rabu, 17 September 2014

Menggagas Keberlanjutan PNPM Mandiri Melalui OVOP

Batam, 11 September 2014

Oleh:
Tristiani Susanti TA Mass Comm & PR
KMP wil. 1
dan
Rudi Rosyidi
TA Sosialisasi
OC/KMW 1 Prov. Kep. Riau
PNPM Mandiri Perkotaan  
Memasuki tahun 2015, strategi pendampingan akan lebih fokus ke arah exit strategy. Harapannya pembinaan dan pengembangan kapasitas kepada BKM dikelola oleh Pemerintah Kota/Kabupaten (Pemkot/kab). Perencanaan partisipatif dalam satu kelurahan/desa menjadi One Village One Plan (OVOP), dan Pemkot/kab menjadi executing agency PNPM Mandiri Perkotaan. Demikian pernyataan Kepala PMU P2KP Didiet R. Akhdiat dalam acara Lokalatih Keberlanjutan bagi Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten.
Hampir 200 orang dari SKPD se-Indonesia mengikuti Lokalatih Pemda
Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Harmoni One, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pada 8 - 11 September 2014. Diikuti sebanyak 193 orang dari total 269 undangan, terdiri atas aparat pemerintah daerah yang berasal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Bappeda Kota/Kabupaten yang mempunyai potensi untuk melaksanakan keberlanjutan program ke depannya, juga memahami substansi konsep dan sering terlibat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. Selain itu juga mereka mempunyai komitmen untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan kapasitas dan menjadi agen perubahan pasca kegiatan. Tujuan lokalatih adalah untuk memberi pemahaman mengenai kebijakan-kebijakan nasional dalam rangka keberlanjutan PNPM Mandiri, berbagi pengalaman terbaik lapang dalam menunjang keberlanjutan program, dan merumuskan bersama komponen yang harus ada dalam keberlanjutan program.
Lebih lanjut, Didiet menyampaikan bahwa dalam fase ini diharapkan peran pemerintah daerah semakin menguat, yang diwujudkan dalam bentuk pro poor policy, pro poor program dan pro poor budget. Implikasi alih kelola ini tentunya dituntut kesamaan cara pandang antara Pemerintah Pusat dengan Pemda sehingga aset-aset yang telah diperoleh melalui program ini dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat miskin perkotaan.
Acara lokalatih sendiri dibuka oleh Plt Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Wahnarno Hadi MS. Ia memaparkan, ada tiga hal pokok terkait dengan keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat di Indonesia, terutama pada masa transisi saat ini. Pertamabahwa dalam penanggulangan kemiskinan perlu kerja sama dan koordinasi yang intensif antar pemangku kepentingan, dimana peran daerah harus terus meningkat karena permasalahan kemiskinan secara riil ada di daerah. Hal ini juga sejalan dengan prinsip otonomi daerah.
Plt Deputi Menko Kesra Bidang
Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Wahnarno Hadi
 
PPK wil. 1 P2KP Pusat Suksesno
memberikan laporan panitia pelaksana
Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Miskin Bappenas Woro S. Sulistyaningrum memberikan
materi arah kebijakan
Kedua, kita sudah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, yaitu PNPM Mandiri, selama kurang lebih 15 tahun dan masyarakat telah merasakan manfaatnya baik dalam hal penyediaan infrastruktur dasar, penguatan modal sosial dan perluasan akses terhadap permodalan. Pengalaman yang baik ini perlu terus dilanjutkan dan dilembagakan dalam proses-proses pembangunan secara reguler.
Ketiga, pada tahun ini Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Desa dan masyarakat untuk membangun wilayahnya sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakatakan terus meningkat.  
Kepala PMU P2KP Pusat Didiet Arief Akhdiat (kiri) didampingi Kepala Satker PNPM Mandiri Perkotaan Pusat Usman Hermanto dan Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Miskin Bappenas Woro S. Sulistyaningrum
Menurut Wahnarno Hadi, Pemerintah saat ini, yaitu Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan sedang menyiapkan berbagai perangkat regulasi yang berupa Peraturan Menteri sebagai dasar penyusunan regulasi di bawahnya. Proses ini sangat penting untuk memastikan substansi-substansi dalam UU Desa dapat tercermin secara nyata dalam regulasi operasional. Dalam penyusunan permen-permen tersebut, Sekretariat Pokja Pengendali PNPM Mandiri, Kemenko Kesra, juga dilibatkan secara aktif untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip PNPM Mandiri dapat mewarnai pelaksanaan Dana Desa sebagaimana amanah Wakil Presiden.
Terkait PNPM Mandiri Perkotaan, walaupun secara langsung tidak terkait dengan UU Desa, namun ketiga prinsip tersebut harus menjadi pedoman dalam pengelolaannya, yaitu berikan peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelolanya, integrasikan pelaksanaan program dengan program sektoral lainnya dan program pemerintah daerah, dan sebagai keberlanjutan program maka prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yang saat ini ada di dalam PNPM Perkotaan harus dapat diintegrasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan reguler.
Selanjutnya, disampaikan juga, dalam menjamin keberlanjutan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, terdapat 10 komponen pokok yang harus dimasukkan dalam prinsip-prinsip pembangunan reguler. Kesepuluh komponen tersebut meliputi: (1) pengalokasian dan penyaluran dana langsung ke masyarakat, (2) penyediaan pendampingan, (3) perencanaan dan penganggaran yang partisipatif, (4) penerapan sistem dan mekanisme tata kelola yang baik, (5) keberlanjutan kelembagaan masyarakat yang saat ini telah ada di masyarakat, (6) pengelolaan aset masyarakat, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, (7) pengarusutamaan program K/L untuk mendukung pembangunan di daerah, (8) pengelolaan keuangan masyarakat, (9) peningkatan kapasitas pelaku, dan (10) penyusunan sistem informasi.

Aspek penting yang harus diperhatikan dalam memastikan kesepuluh komponen tersebut masuk dalam perencanaan pembangunan regular adalah pembagian peran antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Pembagian peran tersebut akan mencakup penyediaan regulasi pendukung, sosialisasi yang intensif, pelatihan dan pendampingan partisipatif yang berasal dari unsur masyarakat sendiri. Pembagian peran ini juga menjadi hal penting untuk mendorong peningkatan peran daerah serta owner shipnya semakin menguat. Sudah saatnya program-program yang baik, yang masih bersifat keproyekan atau keprograman dapat dilanjutkan melalui pelembagaan prinsip-prinsipnya dalam kebijakan yang terlembaga dengan baik, sehingga tidak tergantung pada kondisi politik yang setiap saat berubah.
Narasumber yang hadir pada kegiatan lokalatih ini adalah dari Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Miskin Bappenas Woro S. Sulistyaningrum. Ia menyampaikan materi tentang arah kebijakan penanggulangan kemiskinan jangka menengah 2015-2019. Hal menarik dari rangkaian acara lokalatih ini adalah sesi talkshow, yang menghadirkan narasumber Wali Kota Pekanbaru Firdaus, Koordinator BKM Sukun Kota Malang Dwi Kurnia, Koordinator Kota Kabupaten Gowa Nurliah Ruma, dan dua orang penerima manfaat (anggota KSM) Kartini dan Jomiah dari Kelurahan Duriangkang dan Sekanak Raya Kota Batam.
Talkshow dibawakan oleh TA MassComm KMP
wil.2 PNPM Perkotaan Iroh Rohayati Fatah
dengan pembicara Wali Kota Pekanbaru Firdaus,
Koordinator BKM Sukun Kota Malang Dwi Kurnia,
Korkot Kabupaten Gowa Nurliah Ruma,
Kartini dari KSM Kelurahan Duriangkang
dan Jomiah dari KSM Sekanak Raya Kota Batam
PPK wil. 1 P2KP Pusat Suksesno didampingi
Team Leader KMP wil. 1 PNPM Mandiri
Perkotaan Catur Wahyudi (kanan) dan
Team Leader KMP wil. 2 PNPM Mandiri
Perkotaan Kurniawan Zulkarnain (kiri)
Mereka berbagi pengalaman dan memberikan semangat serta aura yang positif bagi para peserta. Pelajaran dari seorang kepala daerah, yakni Wali Kota Pekanbaru, mengajak para peserta untuk berpikir visioner. “Sebagai pelayan masyarakat kita harusnya bekerja dengan hati, dan menghadapi tantangan ke depan dalam rangka keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah harus cerdas, inovatif namun tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat miskin,” katanya.
Hari Prasetyo (kiri) dari Advisory dan PPK wil. 1 PNPM Mandiri Perkotaan Suksesno membawakan materi Sosialisasi SIM, Web dan PPM
Selain mendukung penuh pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan, Pemda Kota Pekanbaru, dengan peraturan yang ada, sudah concern melaksanakan program pengentasan kemiskinan dan program pemberdayaan masyarakat berbasis Rukun Warga (RW) dengan anggaran daerah yang cukup memadai. Program ini bisa menjawab kekhawatiran terhadap keberlanjutan program yang sudah ada. Kesiapan Pemda ini tentunya diharapkan bisa terjadi juga di seluruh Pemda di Indonesia.
Mengenai perencanaan partisipatif yang dilaksanakan oleh masyarakat, saat ini sudah ada kelurahan yang menerapkan satu kelurahan/desa satu perencanaan atau OVOP. Salah satu kelurahan/desa tersebut memiliki perencanaan yang sudah terintegrasi, yakni Kelurahan Sukun Kota Malang. Koordinator BKM Kelurahan Sukun Kota Malang berbagi pengalaman tentang proses pelaksanaan integrasi perencanaan yang dimotori bersama termasuk oleh BKM.
Di akhir acara, hal yang cukup menggugah peserta, adalah bagaimana manfaat program PNPM Mandiri Perkotaan dirasakan benar oleh seorang ibu pembuat risoles, yang bermimpi bisa membantu warga lain yang masih membutuhkan. Ibu Kartini, dengan semangat dan penuh haru, bercerita saat mulai mendapat pinjaman Rp500.000 sampai Rp3 juta dari UPK BKM di Kelurahan Duriangkang Kota Batam Kepulauan Kepulauan Riau. Keinginan yang tidak muluk dari Kartini, dimana uang tabungan dari keuntungan usaha risoles ini sudah cukup untuk mencicil motor. Harapannya adalah bisa memasarkan langsung risoles itu kepada konsumen dengan harga yang lebih baik.
Akhirnya, melalui diskusi yang dilakukan seluruh peserta yang terbagi menjadi delapan kelas, menghasilkan rumusan yang menjadi rekomendasi kegiatan lokalatih keberlanjutan program terkait dua hal besar, yaitu tentang OVOP, dan pengembangan kapasitas dalam penanggulangan kemiskinan, sebagai berikut.
Salah satu kelas diskusi, dipandu oleh TA MK KMP wil. 1 Ahmad Firdaus
Bagaimana mewujudkan one village one plan (OVOP) di Kota/Kabupaten yang memenuhi prinsip partisipatif, demokratis, transparan dan akuntable:
  1. Sosialisasi kegiatan OVOP
  2. Pemetaan potensi dan masalah dengan pelibatan masyarakat luas, lembaga lokal, RT/RW
  3. Membentuk Tim Teknis atau Pokja sesuai kebutuhan (Peningkatan SDM, Tata Ruang, LSE) di tingkat kabupaten/kota maupun kelurahan/desa
  4. Perencanaan anggaran yang mendukung OVOP
  5. Harmonisasi peraturan perundangan-undangan kelurahan/desa tentang perumusan perencanaan jangka menengah yang terintegrasi
  6. Tata laksana perencanaan, penganggaran (lokus dan fokus), kesesuaian waktu, monitoring dan evaluasi program yang terintegrasi
  7. Pemerintah daerah memasukkan ketentuan OVOP dalam Juklak dan Juknis Musrenbang
  8. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan personil di kelurahan/desa
  9. Integrasi berbagai dokumen perencanaan yang sudah ada
  10. Mengaktifkan TKPKD
  11. Pelibatan seluruh komponen/stakeholder dalam proses penyusunan perencanaan
  12. Mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam bentuk konsultasi publik dokumen perencanaan terintegrasi serta membuka akses informasi melalui berbagai media untuk seluruh masyarakat
Komponen apa saja yang harus ada dalam mewujudkan OVOP? (Kebijakan, Anggaran, Sumberdaya, Data / informasi, dan lain-lain)
  1. Kebijakan/Regulasi di berbagai level yang jelas/tegas tentang OVOP
  2. Anggaran (Sumber APBN, APBD, CSR, swadaya masyarakat)
  3. Sumberdaya
    • SDM yang berkualitas dan peduli
    • Mengoptimalkan sumberdaya alam yang dimiliki
  4. Sistem monitoring dan evaluasi
  5. Kesiapan dan kemudahan akses database yang valid dan akurat, termasuk adanya sistem data terpilah dan analisa database yang tersinkronisasi
  6. Pendampingan masyarakat
  7. Peta dasar
  8. Keterpaduan program dan penataan ruang/RTRW
  9. Keterlibatan kelompok peduli (LSM, Perguruan Tinggi, Tomas, Toga)
Komponen apa saja yang harus ada di Pemda untuk kegiatan pengembangan kapasitas Pemda Dalam Nangkis?
  • Regulasi yang tegas dan jelas (political will)
  • Sistem penganggaran sesuai kemampuan daerah dan tercantum dalam APBD
  • SPKD yang memuat sistem pengembangan kapasitas
  • Desain pengembangan kapasitas kota
  • Penguatan sistem nilai (capacity building berbasis nilai, bukan sekedar menjalankan kewajiban saja)
  • Belajar dari pelaksanaan program-program yang telah berjalan selama ini
  • Lembaga pengelola kegiatan peningkatan kapasitas
  • Pendamping masyarakat/fasilitator
Bagaimana caranya agar komponen tersebut ada/terlaksana?
  • Membentuk struktur kelembagaan
  • Menyusun Perda pelaksanaan kegiatan CB
  • Membangun sistem pencairan dan pemanfaatan dan pengendalian kegiatan
  • Mencantumkan kegiatan pengembangan kapasitas dalam rencana kerja SKPD
  • Membuka ruang komunikasi antar stakeholder, sehingga kebutuhan peningkatan kapasitas pemerintah daerah tersampaikan ke berbagai pihak dengan baik (legislatif-eksekutif)
  • Aturan pengadaan pendamping masyarakat/fasilitator akan diatur oleh masing-masing kabupaten/kota
  • Memanfaatkan lembaga penguatan kapasitas yang dimiliki Pemda
[KMP-1/Kepri]
Editor: Nina Firstavina

Selasa, 16 September 2014

Rancang Strategi Program dengan Belajar dari Capaian Kinerja Pemda

Batam, 16 September 2014


Oleh:
Tristiani Susanti TA Mass Comm & PR
KMP wil. 1
PNPM Mandiri Perkotaan  
Ada pembelajaran yang didapatkan dari para pelaku Pemerintah Daerah (Pemda) yang perlu di-share guna menyiapkan keberlanjutan program ke depan. Di antaranya, pertama, antusiame Pemda terhadap PNPM Mandiri Perkotaan sangat baik, sebab hasilnya dapat dirasakan langsung dan terbukti bermanfaat. Kedua, Pemda mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan lebih besar dari yang dipersyaratkan. Ketiga, melakukan replikasi kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan baik yang reguler maupun yang penguatan PLPBK, PAKET, PPMK, dan lain-lain. Keempat, memfasilitasi dan menguatkan program kemitraan dan channeling di level daerah terhadap BKM-BKM yang tergolong mandiri. Kelima, Pemda siap meneruskan keberlanjutan program, berbasis dana APBD sekalipun. Untuk ini, diperlukan dukungan kebijakan Pusat terkait keberlangsungan program dan alih pengelolaan program.
Hal itu terungkap dalam Pertemuan Regional PNPM Mandiri Perkotaan di Harmoni One, Kota Batam, Kepulauan Riau, pada 11-12 September 2014. Pada gilirannya, yang utama dari dua momen penting yang melibatkan stakeholder Pemda adalah “bagaimana program yang sudah dikembangkan ini bisa tetap berlanjut dan memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin. Dan, bagaimana strategi yang dilakukan semua pihak, terutama Pemda untuk memastikan keberlanjutan program penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat.
PNPM Mandiri Perkotaan telah dilaksanakan di 34 provinsi, 269 kabupaten/kota dan 11.066 kelurahan. Pencapaian program di tahun ke-8 menunjukkan baru sekitar 3% dari jumlah total Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau 327 kelurahan masuk dalam kategori menuju Madani, 60% BKM atau 6.270 kelurahan berstatus Mandiri, dan 36% BKM atau 3.773 kelurahan berstatus Berdaya.
“Di sisi lain terdapat 37 kelurahan (0,4% BKM) masih dalam status BKM Awal dan membutuhkan pendampingan intensif,” kata Program Manager Unit (PMU) PNPM Mandiri Perkotaan Didiet R. Akhdiat dalam pembukaan pertemuan Regional PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2014 ini.
Adapun kegiatan ini secara khusus bertujuan untuk (1) meningkatkan pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan nasional terhadap pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2014, (2) meningkatkan pengetahuan mengenai progres/capaian PNPM Mandiri Perkotaan 2014 dan rencana pelaksanaan kegiatan hingga akhir tahun, dan (3) menyiapkan Pemda dalam melanjutkan fasilitasi PNPM Mandiri Perkotaan pasca 2014.
Proses pemberdayaan di PNPM Mandiri Perkotaan salah satunya dicirikan melalui keterlibatan pelaku dalam setiap tahapan kegiatannya. Berdasarkan Key Performance Indicator (KPI) yang dirilis SIM P2KP menunjukkan keterlibatan penduduk dewasa dalam kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan di tingkat kelurahan secara nasional mencapai rerata 47,5% dari target 40% secara nasional. Sementara keterlibatan perempuan dan kelompok rentan dalam kegiatan yang sama mencapai 45,2% dari target 40% secara nasional.
Terkait Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang dikelola BKM sejak tahun 2007 hingga 2013 mencapai Rp10,8 triliun terdiri dari sumber APBN sebesar Rp6,3 triliun, sumber APBD Rp1,4 triliun dan sumber lain sebesar Rp3,1 triliun dan seluruhnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bentuk kegiatan infrastruktur, sosial berkelanjutan dan ekonomi produktif. Pemanfaatan BLM PNPM Mandiri Perkotaan di bidang infrastruktur mencapai 82,4% dari total BLM yang dicairkan atau setara Rp8,9 triliun sementara 9,5% BLM atau sekitar Rp1 triliun dimanfaatkan dalam bentuk kegiatan sosial berkelanjutan dan 8,1% atau setara Rp874 miliar dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi produktif.
Tantangan ke depan dari pemanfaatan BLM PNPM Mandiri Perkotaan ini adalah bagaimana menjamin kualitas kegiatan infrastruktur yang dibangun oleh masyarakat mampu memenuhi kualifikasi sesuai standar yang telah berlaku serta mengoptimalkan pemanfaatan BLM bagi masyarakat miskin atau kelompok sasaran. Data SIM P2KP menunjukkan bahwa penerima manfaat kegiatan tridaya pada tahun 2013 baru mencapai 77% yang berarti bahwa sekitar 23% BLM PNPM Mandiri Perkotaan di manfaatkan bukan kelompok penerima sasaran program.

Kasus penyalahgunaan dana di PNPM Mandiri (Status Juli 2014):
  • Total nilai penyalahgunaan dana program yang berstatus “Proses Penyelesaian” senilai Rp5,5 miliar atau 0,05% dari Total BLM 2007-2013 yang telah disalurkan ke masyarakat sebesar Rp10,8 triliun
  • Provinsi dengan penyimpangan dana dari Pengaduan Masyarakat berstatus “Proses Penyelesaian” yang relatif besar: Jatim (Rp328,9 juta); NTB (Rp256,9 juta); NTT (Rp258,5 juta); Kaltim (Rp268,4 juta) dan Sulsel (Rp264,6 juta)
  • Provinsi dengan penyimpangan dana dari Temuan BPKP berstatus “Proses Penyelesaian” yang relatif besar: Jatim (Rp2,1 miliar); Sulteng (Rp114,3 juta); Sultra (Rp150,5 juta) dan Gorontalo (Rp313,3 juta)
Dari total pelaku penyalahgunaan dana sebanyak 932, pelaku terbanyak adalah BKM (44,4%); KSM (26,1%); Faskel (2,8%) dan Tim Korkot (1,7%). Guna mencegah terjadinya penyalahgunaan dana ke depan, diperlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan kegiatan dan dana serta memperkuat peran kontrol sosial dari masyarakat, selain itu perlu peningkatan intensitas monitoring lapangan oleh Pemda, PJOK dan Lurah/Kades yang diharapkan dapat menekan/mencegah terjadinya penyalahgunaan dana program.
Dari 268 kabupaten/kota sasaran PNPM Perkotaan yang dievaluasi, hasilnya sebanyak 179 kabupaten/kota memiliki skor nilai akhir ≥ 80,0 (Passing Grade) dan 89 kabupaten/kota memiliki skor nilai akhir dibawah Passing Grade (< 80,0). Sedangkan 10 kabupaten/kota rangking tertinggi dan rangking terendah sebagai berikut :

Berangkat dari gambaran perkembangan dan capaian program di atas, para peserta yang merupakan Satuan Kerja dan Pejabat Pembuat Komitmen PNPM Mandiri Perkotaan telah merumuskan strategi dalam rangka meningkatkan kinerja program dan optimalisasi pemanfaatan dana. Berikut hasil rumusan strategi dari kegiatan pertemuan regional yang dilaksanakan selama dua hari kemarin. Rumusan disampaikan dari lima kelas diskusi sebagaimana terlampir. [KMP 1]
Lampiran:
  1. Rumusan Strategi Kelas Satker PPK Provinsi (format .pdf, size 150,2 KB)
  2. Rumusan Strategi Kelas A (format .pdf, size 38 KB)
  3. Rumusan Strategi Kelas B (format .pdf, size 468,7 KB)
  4. Rumusan Strategi Kelas C (format .pdf, size 105,6 KB)
  5. Rumusan Strategi Kelas D (format .pdf, size 12 KB)
Editor: Nina Firstavina

Senin, 15 September 2014