PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Kamis, 13 November 2014

Menggagas Kemandirian BKM

Bukittinggi, 13 November 2014


Oleh:
Muhammad Ali, S.Pd, M.Pd. Askot CD Kota Bukittinggi  
OC 1 Provinsi Sumatera Barat
PNPM Mandiri Perkotaan
Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan melalui PNPM Mandiri Perkotaan, salah satu langkah yang harus dilakukan adalah memandirikan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Hal ini sesuai dengan amanah rumusan Peta Jalan PNPM Mandiri pada Pilar ke-3, yaitu Penguatan Kelembagaan Masyarakat. Lahirnya kelembagaan masyarakat ini dilatarbelakangi dari adanya persoalan bersama yang membutuhkan penyelesaian secara bersama sehingga masyarakat membentuk lembaga untuk menyelesaikan segala persoalan yang ada.
Lembaga BKM/LKM yang telah dilahirkan dari rahim PNPM Mandiri Perkotaan pada masa awal pranatal, telah disubsidi dengan konsepsi tentang keinginan lahirnya lembaga yang proaktif dalam mensejahterakan masyarakat. Dengan harapan yang penuh inilah jadi semangat tersendiri bagi lahirnya lembaga BKM/LKM. Setelah melewati masa pranatal maka lahirlah lembaga BKM melalui proses yang sangat natural, digambarkan sebagai lembaga yang dipilih oleh masyarakat, didasarkan pada keinginan masyarakat untuk mengorganisir diri dengan menyatukan langkah bersama pada sebuah lembaga. Hal ini bisa digambarkan, lembaga tersebut bagaikan sebuah perahu yang mengarungi samudera dalam mencapai pulau impian yaitu kesejahteraan masyarakat dengan terbebasnya masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan.
Lembaga BKM pondasinya dikokohkan dengan Akta Notaris sebagai penguat lembaga dalam melakukan pergerakan di tingkat masyarakat agar tidak anggap ilegal bagi Negara hukum seperti Indonesia. Berkat kegigihan dan pondasi yang kuat satu generasi kepengurusan berjalan dengan baik dan telah menghasilkan berbagai produk pemberdayaan di tingkat masyarakat. Namun demikian, masih ada juga beberapa lembaga BKM yang belum berjalan atau belum mandiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh persoalan yang ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal. Rumusan sederhananya adalah bagi lembaga BKM yang mampu menyelesaikan persoalan akan bangkit menjadi lembaga yang kokoh dan kuat. Namun bagi lembaga BKM yang tidak mampu menghadapi persoalan, perlahan-lahan lembaga tersebut akan tumbang dan roboh, bahkan mati suri tanpa aktivitas.
Segelintir gambaran tadi menygisaratkan bahwa lembaga yang lemah dalam pondasi apalagi lembaga yang terbentuk secara spontanitas akan menyebabkan suatu lembaga yang tidak tentu arah atau disorientasi. Program PNPM Mandiri Perkotaan, konsepsi kelembagaan dibangun berdasarkan kebutuhan bersama di tingkat masyarakat untuk mampu keluar secara bersama dari masalah kemiskinan. Proses lahirnya lembaga juga didasarkan atas kesadaran kritis dari masayrakat pentingnya kebersamaan dalam penyelesaian persoalan.
Secara konsepsi sebenarnya inilah hakikat dari pendirian lembaga dalam dalam sebuah program. Namun niat baik tersebut cenderung dicorengi oleh perilaku sekelompok orang yang ada di dalam suatu organisasi. Walaupun tidak banyak, beberapa lembaga yang didirikan melalui kebutuhan yang melatarbelakangi tujuan, seperti keinginan memperoleh keuntungan. Ini menyebabkan organisasi tersebut tidak tahan dengan kondisi yang dihadapi.
Kondisi lain yang terlihat ke permukaan adalah banyaknya pengurus yang tidak memiliki komitmen terhadap perjuangan lembaga BKM itu sendiri. Prinsip kerelawanan telah berubah menjadi prinsip perlawanan kepada program yang membidani lahirnya lembaga BKM di tingkat masyarakat itu. Persoalan lainnya adalah orientasi lembaga itu sendiri yang belum jelas tujuan dan arahnya. Ketidakjelasan tujuan ini yang menyebabkan sikap militansi dalam menjalankan lembaga yang tidak sesuai dengan tujuan program. Kemudian yang lebih miris lagi adalah lembaga BKM hanya dijadikan sebagai kendaraan untuk memeroleh dana BLM atau penyaluran bantuan kepada masyarakat. Tetapi ketika bantuan tersebut habis, semangat untuk melaksanakan tujuan lembaga juga tidak terlihat lagi.
Guna mewujudkan lembaga yang mandiri, ada beberapa konsep yang penulis tawarkan, agar percepaan kemandirian lembaga PNPM Mandiri dapat terwujud. Yaitu:
Pertama, mempertegas Visi dan Misi. Banyak lembaga yang bubar dan stagnan justru bukan karena persoalan Sumberdaya Manusia (SDM) maupun sumberdaya finansial. Tetapi terkait pelaku dalam lembaga tersebut yang belum memahami sepenuhnya arti dan makna visi dan misi serta tujuan lembaga. Semua lembaga mempunyai visi dan misi serta tujuan, tapi tidak semua lembaga atau orang yang ada di dalam lembaga tersebut memahaminya.
Visi dan misi merupakan pondasi berdirinya sebuah organisasi. Dengan adanya visi dan misi lembaga maka akan memberikan arah dan pengembangan lembaga tersebut ke depan, dan akan memberi warna terhadap perkembangannya kedepan. Ukuran dan eksistensi suatu lembaga bisa dilihat dari sejauh mana eksistensi pelaku dalam organisasi tersebut memahami visi dan misi lembaga.
Visi dan misi perlu dirumuskan semaksimal mungkin untuk menetukan arah dan tujuan dari lembaga yang dibentuk. Dengan visi dan misi yang tepat maka pengembangan lembaga ke depan lebih terarah dan lebih maksimal dalam mencapai tujuan. Visi dan misi dipandang sebagai sebuah arah yang dapat menjadi arah dari perjuangan sebuah lembaga atau organisasi. Tentunya bagi sebuah lembaga atau organisasi yang memandang visi dan misi hanya sebagai sebuah media untuk mencapai sebuah tujuan tentunya ini bisa dikatakan sesat pikir karena pemaknaan visi dan misi haruslah universal, sehingga dengan visi dan misi ini menjadi aspek yang penting untuk dikaji dan komitmen dalam menjalankannya.
Dalam lembaga BKM visi dan misi disusun melalui rapat berjenang ditingkat masyarakat yang dibungkus dalam rangkaian siklus pemberdayaan masyarakat tentunya penggaliannya haruslah lebih matang. Prinsip yang dibangun dalam penyusunan PJM adalah partisipatif yang berkiblat pada kebutuha masyarakat.
Kedua, memperkuat Potensi Sumberdaya (empowering). Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan kualitas SDM yang menjalankan lembaga BKM dengan membuka akses seperti pengurus yang melek teknologi, informasi. Peningkatan kapasitas ini melalui pendidikan dan pelatihan. Pemberdayaan kapasitas ini bukan hanya meliputi penguatan pengurus saja tetapi semua unsur yang terlibat dalam pengembangan lembaga BKM.
Aspek yang lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan bertanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Dengan demikian ketika pembaharuan pengetahuan telah menjadi sebuah tujuan bersama maka BKM dalam melakukan pembangunan akan semakin kuat.
Ketiga, kemandirian dalam keuangan. Kemandirian keuangan suatu lembaga adalah harga mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena  dengan adanya kemandirian keuangan lembaga maka lembaga tersebut akan kuat dan banyak melakukan aktivitas. Namun apabila keuangan lembaga tidak maksimal maka akan muncul persoalan-persoalan lain yang menyebabkan terjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan lembaga. Keuangan adalah sumber primer yang harus ada di dalam lembaga. Tanpa adanya keuangan maka mustahil lembaga tersebut dapat menjalankan aktivitasnya.
Pada BKM dalam program PNPM Mandiri Perkotaan dana yang dikelola oleh lembaga BKM dikenal dengan dana pinjaman ekonomi bergulir. Dana ini berasal dari dana kegiatan ekonomi perguliran yang dikelola kelompok. Sistem perguliran ini dilakukan dalam rangka pemupukan modal KK miskin untuk penganggulangan kemiskinan.
Namun, saat ini terjadi berbagai persoalan dalam pengembangan ekonomi bergulir, yaitu dengan adanya kemacetan luar biasa, yang terjadi di tingkat masyarakat. Di samping kemacetan persoalan lain yang muncul adalah adanya penyimpangan yang terjadai ditubuh pengurus sendiri dengan modus yang dilakukan adalah ketika pengembalian dilakukan oleh masyarakat pengurus ketua atau pengurus yang dipercaya tidak melakukan penyetoran dan dana tesebut terpakai, sehingga tidak dapat disetorkan.
Persoalan lain dana UPK yang muncul adalah adanya peminjam yang bukan berasal dari KK miskin, sehingga agar pinjaman tersebut sampai maka dilakukan pemakaian KTP yang si KK miskin inilah yang menyebabkan administrasi yang membingungkan, sehingga banyak persoalan yang terjadi akibat administrasi yang tidak jelas. Hal inilah yang berkontibusi sangat besar terhadap terjadinya kemacetan didalam pengelolaan pinjaman bergulir. [Sumbar]
Editor: Nina Firstavina

Rabu, 12 November 2014

Pahlawan-pahlawan Kesiangan Itu

Padang, 10 November 2014

Oleh:
Hendri Matias TA LG
OC 1 Provinsi Sumatera Barat    
PNPM Mandiri Perkotaan
Kita harus akui bahwa bangsa ini ada karena perjuangan para pahlawan yang berjuang tanpa pamrih. Bukannya pahlawan yang mengaku-ngaku jadi pahlawan. Kalaulah para pahlawan itu tidak fokus dan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, saya yakin sampai saat ini kita masih akan tetap terjajah oleh bangsa asing. Saat ini berkembang istilah dan fenomena Londo ireng” (Belanda hitam), di mana anak bangsa sendiri ikut-ikut menjajah anak bangsa yang lain.
Fenomena Londo ireng” sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, yang dikenal dengan nama KNIL atau het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, yang secara harafiah artinya Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Yang menarik, hampir 71% anggotanya adalah Bumiputra—orang Indonesia; tak usah disebutkan sukunya, nanti jadi sara. Silakan browsing saja, ya, he..he.. Dan ini berlangsung sejak 1815-1950. KNIL dibubarkan dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia, serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Tahun 1950, KNIL dibubarkan, berdasarkan keputusan kerajaan tertanggal 20 Juli 1950. Dan, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00 WIB, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan dibubarkan. Lalu, berdasar hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), mantan tentara KNIL yang saat itu jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000, yang ingin masuk ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian, pada tahun 1970-an, mencapai pangkat Mayor Jenderal TNI. Jumlah orang KNIL dari Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang. (Sumber: wikipedia.org) 
Secara logika tidak mungkin Belanda dengan jumlah penduduknya akan bisa membuat tentara sendiri dan mengawasi negara jajahan. Makanya mereka perlu orang-orang Bumiputra, atau penduduk jajahan, dijadikan tentara. Tentu dengan proses dan metode yang tidak gampang, karena harus berhadapan dengan saudara sebangsanya sendiri. Namun, ternyata hal ini bisa dilakukan. Inilah hebatnya penjajah. Tapi, waduh, terjebak bahas KNIL. Kita sudahi dulu membahas ini. Lanjutkan dengan diskusi fenomena “pahlawan”, terutama pahlawan kesiangan.
Ilustrasi Pertempuran Surabaya, 10 November 1945
(sumber: google)
Kenapa kita bahas KNIL di awal tulisan ini adalah untuk mengingatkan kita semua, bagaimana fenomena menjajah bangsa sendiri sudah ada sejak zaman kolonial yang diinisiasi oleh saudara-saudara kita “bangsa Belanda”. Sebagai bangsa yang merdeka dan dilihat dari perspektif manapun, tidak satupun anak bangsa yang boleh menjajah anak bangsa lain. Karena kemerdekaan ini tidak gampang memperjuangkannya, dan merupakan hak bagi segenap bangsa Indonesia, yang sudah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945.
Namun realitas lapangan, terkadang masih kita lihat perilaku imperialis dalam berkegiatan, berkarya, dan aktivitas hidup berbangsa dan bernegara. Saya tidak akan menunjuk dan menyebut nama orang per orangan, apakah Anda termasuk kategori Londo ireng”, "pahlawan kesiangan", atau memang benar-benar pahlawan sejati. Karena, tidak jarang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, pilihan perilakunya hanya dua: kalau tidak jadi pemenang, ya jadi pecundang. Jarang sekali yang memosisikan diri sebagai orang yang dapat berkompromi dengan kekalahan, dan akhirnya semua ingin jadi pemenang.
Kalau dalam berkegiatan Anda lebih mengandalkan teman ketimbang usaha sendiri, dan memaksa teman untuk menyelesaikan tanggung jawab yang seharusnya anda juga bertanggung jawab di sana, berarti anda termasuk kategori Londo ireng”. Karena begitulah sifat Londo ireng”: memberikan tanggung jawab kepada saudara sendiri dan memanfaatkan teman apakah “terpaksa” atau “ikhlas” untuk menyelesaikannya. Lalu, Anda mengklaim bahwa Anda adalah bagian dari pekerjaan dan tanggung jawab itu. Akan lebih parah kalau mengaku mengerjakannya sendiri, itu lebih biadab lagi.
Tidak jarang orang berbuat, teorinya terlalu tinggi di langit. Pas dibumi tidak ada apa-apanya. Tak ada yang gratis lah. Semuanya ada hitung-hitungannya. Mudah di awal, ribetnya minta ampun di akhir. Mengutip pepatah teman saya yang aktif di salah satu Parpol: Tidak ada makan siang yang gratis. Semuanya itu ada hitung-hitungannya sendiri.
Sementara itu, kalau dalam proses kegiatan dan tanggung jawab Anda cuek saja, pura-pura tidak tahu, dan kalau sudah ada hasilnya Anda akan memposisikan diri sebagai orang yang paling berkontribusi besar dan berperan luar biasa, malah keluar sederet teori-teori yang menjustifikasi kalau itu adalah usaha Anda, bahwa Anda sudah lakukan sebelum yang lain memikirkannya, hebat! Dan, Anda akan dianggap jadi pahlawan bagi orang yang tidak tahu realitas dan bergaul dengan anda. Anda akan langsung dinobatkan jadi pahlawan di mata orang luar. Ini termasuk kategori “Pahlawan kesiangan” . Kalau Anda termasuk kategori ini, mungkin tidak hanya manusia yang Anda “jajah” akan marah, tapi Tuhan pun akan marah. Dan jika Tuhan marah, tempat pulang Anda adalah “neraka”. Iiih, ngeri!
Sementara yang ketiga adalah kategori “pahlawan sejati”, dimana dalam berkegiatan tidak ada aksesoris kehidupan duniawi yang dibawa. Lebih fokus mengejewantahkan dan mengejar substansi. Fokus pada customer ketimbang stakeholders. Di sela output, ada outcome yang juga tidak kalah penting. Tanpa peduli pada kebutuhan akan pujian dan apresiasi manusia dan apa yang dikerjakan lebih dianggap sebagai nilai ibadah di mata Penciptanya. Seperti harapan Team Leader (TL) Sumatera Barat (Sumbar) kepada semua pelaku: Apa yang kita lakoni dalam pekerjaaan dapat bernilai ibadah di mata Tuhan.
Cuma pertanyaanya, masih ada dan dapat tempatkah orang seperti ini, dimana kini orang lebih sibuk membicarakan yang fisik saja. Tidak percaya dengan yang metafisik. Berapa persen jugakah pimpinan bangsa ini yang lebih punya jiwa pahlawan sejati ketimbang pahlawan kesiangan? Jangan-jangan jiwa “Londo ireng”-nya lebih dominan.
Kalau Anda kebetulan seperti itu, segera ke “neraka”, bakar semua dosa. Atau ceburkan diri ke laut kalau tidak bisa tobat. Ini hanya sebuah refleksi di Hari Pahlawan. Wassalam. [Sumbar]
Editor: Nina Firstavina