PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Selasa, 08 Juli 2014

Renungan Bersama....Kisah seorang tuna grahita

Di copas dari status fb seorang rekan :

Siang ini seperti biasa saya berada di kantor. Sedikit bercerita, saya adalah staff magang di pusat informasi dan humas Universitas Airlangga. Masih sama dengan hari lain, tugas kami disini salah satunya adalah menerima tamu. Tepat pukul 11 siang, pintu kantor diketuk. Saya dan staff lain mempersilakan tamu ini untuk masuk dan duduk. sebelum sempat kami selesai mempersilakan duduk, si Tamu bertanya, "Pak, Bu, ini bener kampus C Unair Mulyorejo?". dengan ramah kami meng-iyakan. Namun sekali lagi beliau bertanya pertanyaan serupa. Dengan heran kami kembali meng-iyakan. Namun terkejutnya kami ketika si Tamu berteriak girang, "horeee!! saya lulus!". Lalu si Tamu bercerita bahwa dia adalah siswa SLB, usianya 34 tahun namun kemampuan otaknya setara dengan anak usia 13 tahun. Namanya Aput, dia dari Wonosari, Yogjakarta. Tujuannya kesini adalah untuk ujian. Ujian? Awalnya kami heran. Namun ternyata Aput sedang menjalankan ujian pencarian alamat. Bayangkan dengan kapasitas otaknya yang setara 13 tahun, ia menuju Surabaya, kota sebesar ini sendirian (ingat, dia dari Yogjakarta, 10 jam dari Surabaya). Ia hafal benar ia harus naik bus Eka sampai Bungur Asih dan 2 kali naik angkutan umum untuk sampai ke Kampus kami. Belum selesai disana, ketika kami menawarkan minum, ia menolak dengan alasan ia dilarang untuk meminta minta. Keukeuhnya prinsip tidak meminta minta ini sampai memaksa kami mencari alasan lain agar ia menerima air minum itu (ia tampak sangat lelah dan kehausan). Kami berdalih bahwa air minum itu adalah hadiah karena dia sudah lulus ujian (bisa menemukan alamat adalah ukuran kelulusannya). Disela perbincangan kami ia bercerita bahwa di sekolahnya ia belajar baca tulis, ketrampilan, dan agama. Ia menyebutkan ada dua agama disana yang pertama adalah agama Allahuakbar (red. Islam) dan pak Yesus (red. Kristen/Katolik). kebetulan ia beragama Allahuakbar tuturnya. Lama berbincang, ia teringat bahwa hari ini adalah hari Jumat. Ia membacakan (dia hafal, tanpa teks) surat Al-Jumu'ah bagi kami. Suaranya merdu dan bacaaannya benar, dia juga hafal dengan baik. Saya dan rekan kerja saya sampai luluh dan menangis. Dia juga memberi tahu kami bahwa ada aturan yang harus ditaati selama ujian ini. Pertama adalah boleh bertanya, namun tidak boleh diantar. Kedua adalah tidak boleh naik kendaraan yang bersifat mengantar seperti taxi dan becak. Ketiga, tidak boleh meminta - minta. dan masih banyak aturan lain yang mengoyak nurani saya. Saya jadi berfikir, sudahkah kita memiliki moral sebaik tamu Tuna Grahita ini? Bahkan dia mencari tempat sampah untuk membuang sampahnya. Sedangkan kita? Ada satu celetukan polos yang ia tanyakan pada kami. Ia bertanya, berapa banyak ayam yang harus dijual untuk pergi ke Mekah? Untuk ke Surabaya saja ia harus menjual ayam 3 ekor. Ia ingin ke mekah karena sudah bisa mengaji. Dari tamu ini saya belajar banyak tentang makna hidup, kejujuran, bagaimana berjuang dan terus memotivasi diri sendiri. Dia berkata bahwa dia dilarang bersedih. "Kata pak Guru aku ngga boleh sedih, kalo sedih nanti bodo lagi", ucapnya polos. Dari sini, masih bisa sombongkah kita bahwa mahasiswa adalah makhluk paling pintar dan paling baik moralnya? Mari belajar dari sekitar, termasuk dia 

By : Intan putri purnama ningrum
jumat, 20-06-2014

Senin, 07 Juli 2014

Atasi Kemiskinan dengan Metode Iqra'

Oleh: Afriadi
TA LG
OC/KMW 1 Provinsi Sumatera Barat
PNPM Mandiri Perkotaan

Tulisan ini tidak akan bercerita tentang bagaimana kisah turunnya surat pertama dalam Al-Quran, yaitu Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5 kepada Nabi Muhammad, SAW. Tidak juga akan mengkaji mengapa perintah iqra’ (bacalah) itu ditujukan kepada seorang Rasul yang ummi (tidak pandai baca tulis), karena memang bukan kompetensi penulis. Tetapi sebagaimana kata M. Quraish Shihab, dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat", ternyata kata iqra' berasal dari akar kata yang berarti “menghimpun”. Dan, dari kata tersebut lahirlah aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Beranjak dari berbagai makna kata iqra’ itulah muncul ide untuk menulis tulisan ini.
Iqra’ = membaca; menyampaikan. Sudah lebih 15 tahun perjalanan PNPM Mandiri Perkotaan, jika dihitung sejak P2KP mulai tahun 1999. Jika transformasi sosial dari masyarakat tidak berdaya menjadi berdaya di PNPM Mandiri Perkotaan diibaratkan Sekolah Dasar (SD). Masyarakat berdaya menjadi mandiri adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Maka benar tahun ini adalah tahun penentuan apakah kita akan lulus ujian nasional. Apakah Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM) kita akan lulus menjadi mandiri? Mari kita lihat dan baca data-data yang ada.
Berdasarkan paparan Kepala Satker P2KP Pusat, saat pembukaan Training of Trainers (ToT) Penguatan dan Expert Group Meeting (EGM) Tenaga Ahli pada 21 Maret lalu, ternyata masih terdapat 3.773 kelurahan/desa (36%) yang kinerja kelembagaannya masih status “Berdaya”. Ada yang mendapat kelas akselerasi, sehingga duluan lulus SMP dan mencapai status “Menuju Madani” sebanyak 327 kelurahan/desa (3%), tetapi ternyata masih ada juga yang sulit naik kelas karena statusnya “Belum Berdaya”, yaitu sebanyak 37 kelurahan/desa (1%).
Jika lulus SMP (status “Mandiri&rdquoting..ting! merupakan persyaratan untuk masuk SMA—Alih Kelola oleh Pemerintah Daerah (Pemda), maka memang perlu kerja keras untuk membuat 3.810 kelurahan/desa (37%) lagi lulus dengan status Mandiri. Orangtua yang cerdas tentu tidak akan melepaskan begitu saja peningkatan kapasitas anaknya kepada Bimbingan Belajar (Bimbel) agar anaknya lulus SMP. Pengawasan selama 24 jam terhadap aktivitas anak adalah yang nomor 1. Apakah si anak memang pergi ke Bimbel? Apakah di rumah anak mengulang lagi pelajaran yang didapatkan? Kalau semua itu dilakukan maka insya Allah anak akan lulus dengan nilai yang baik.
Begitu juga dengan kinerja kelembagaan LKM yang kita miliki. Status “Mandiri”, bahkan “Menuju Madani” yang telah dicapai oleh sebagian besar LKM seharusnya menjadi cambuk bagi LKM yang masih berstatus “Berdaya” dan “Belum Berdaya”. Strategi dan langkah-langkah taktis yang akan dilakukan telah disampaikan, baik pada Rapat Koordinasi (Rakor) Program Director-Team Leader (PD-TL) maupun EGM Tenaga Ahli. Tinggal pengendalian, pengawalan dan pengawasan.
Selanjutnya, tentu setiap orangtua tidak mau anaknya asal lulus saja, lalu ketika masuk SMA ternyata tidak bisa apa-apa. Diterima di SMA favorit, pastilah harapan dan dambaan setiap orang tua. Begitu juga dengan LKM kita. Tentu kita tidak mau status “Mandiri” yang disandang LKM hanya di atas kertas saja. Alangkah malunya kita kalau ternyata LKM dengan status “Mandiri” itu ternyata belum mampu meyakinkan berbagai stakeholder terkait, untuk berperan serta dalam mendanai kegiatan-kegiatan yang ada di PJM Pronangkis. Ternyata LKM yang menurut kita “Mandiri” tadi belum layak untuk diajak bekerja sama menurut Pemda dan stakeholder terkait.
Kalau memang LKM adalah salah satu komponen yang akan dialih-kelolakan kepada Pemda, apakah kinerja kelembagaan LKM itu telah tersosialisasi dan tersampaikan kepada seluruh aparat Pemda, mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan kota/kabupaten? Jangan-jangan kinerja kelembagaan LKM tersebut masih sebatas kita, sebagai fasilitator, saja yang mengetahuinya. Bahkan, bisa jadi ada anggota LKM yang tidak tahu kinerja kelembagaan mereka sendiri.
Paparan Kepala Satker P2KP Pusat yang baru pada saat Rakor PD dan TL OC 1 pada 22 Mei 2014 mengonfirmasi pertanyaan tersebut. Bahwa ternyata memang arahan dan konsep pengembangan kemandirian LKM belum tersosialisasi secara maksimal.
Iqra’ = menelaah; mendalami; meneliti; mengetahui ciri sesuatu. Apa yang akan terjadi pada tahun 2015 dan seterusnya? Apakah PNPM akan masih ada setelah terjadinya pertukaran rezim pemerintahan? Pertanyaan yang masih terus dilontarkan masyarakat, aparat Pemda, bahkan kita sendiri sebagai fasilitator pendamping juga. Bagi masyarakat dan Pemda pertanyaan tersebut ujungnya jelas: agar BLM tetap terus ada, karena masih banyak kegiatan di PJM Pronangkis yang belum dilaksanakan. Sementara, ketersediaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat terbatas. Sedangkan bagi kita fasilitator, kepastian tetap adanya PNPM atau apapun namanya nanti maka kegalauan terhadap terus berasapnya dapur, sedikit dapat dikurangi.
Tapi sebagaimana yang telah kita jalani selama ini, tidak ada yang pasti di PNPM. Program yang sudah terjadwal untuk dilaksanakan, bisa tertunda pelaksanaannya. Begitupun sebaliknya, sudah sering kita ketiban tambahan kepercayaan, berupa program-program yang naik di tengah jalan. Jadi mengapa kita harus galau terhadap keberlanjutan PNPM pasca 2014? Bukankah dalam beberapa kesempatan advisory telah menyampaikan, bahwa telah disiapkan beberapa program yang akan dilaksanakan pasca 2014, seperti program pilot Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau Program Penghidupan Berkelanjutan (P2B), pilot PDB dan pilot Federasi UPK, pilot Program Keuangan Mikro Syariah dan pilot BDC. Di samping itu, program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK), program Peningkatan Penghidupan Masyarakat Berbasis Komunitas (PPMK), program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) dan beberapa program lain sepertinya masih tetap akan ada pasca 2014.
Kalaupun ada yang membuat galau penulis adalah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Bukan dari sisi kesiapan LKM dalam merespon berlakunya UU Desa tersebut, tetapi dari sisi kita sebagai pendamping. Seandainya UU tentang Desa tersebut memang diberlakukan mulai tahun 2015, secara teori tentu wilayah-wilayah dampingan PNPM Mandiri Perkotaan yang berstatus desa, bukan kita lagi yang mendampinginya. Akan ada pengurangan wilayah dampingan PNPM Mandiri Perkotaan dengan jumlah sangat signifikan.
Untuk Sumatera Barat saja, misalnya, akan terjadi pengurangan wilayah dampingan sebanyak 110 desa (30%). Dari sebelumnya 369 kelurahan/desa/nagari akan menyusut menjadi 259 kelurahan. Implikasinya tentu kebutuhan pendamping tidak akan sebanyak tahun 2014 lagi. Artinya juga, kalaupun PNPM Mandiri Perkotaan tetap ada pada tahun 2015, banyak dari kita yang tidak akan bersama lagi dalam mendampingi masyarakat.
Iqra’= menghimpun. Apa yang perlu kita himpun? Kalau PNPM Mandiri Perkotaan punya slogan “Kita Peduli Kita Bisa Atasi” maka sudah saatnya di ujung perjalanan PNPM Mandiri ini kita ikut mengatasi kemiskinan dengan menghimpun kepedulian tersebut dalam bentuk yang lebih kongkrit. Kalau dalam tulisan sebelumnya penulis mengajak untuk mengeluarkan seorang warga miskin dari kelaparan satu hari (baca: Antara PPLS, P1, P2 dengan PS-2), kali ini penulis mengajak seluruh pendamping, mulai dari tingkat pusat sampai dengan fasilitator kelurahan, untuk benar-benar mengeluarkan warga miskin dari daftar PS-2. Setidaknya 1 KK PS-2 ditiap provinsi.
Begini usulan penulis. Sebagaimana Surat Direktur PBL No. KU.01.08-cb/2269 tanggal 23 Desember 2013 perihal Perpanjangan Kontrak Fasilitator/Asisten/Koordinator Kota Pelaksana Program PNPM Mandiri Perkotaan TA. 2014, terdapat 7.655 orang pendamping, mulai dari Korkot sampai dengan Faskel. Jika ditambah dengan fasilitator tingkat pusat (KMP) dan provinsi (KMW) maka setidaknya terdapat 8.000 orang fasilitator. Kalau masing-masing kita menyisihkan sebagian pendapatan sebulan dari PNPM sebesar Rp100.000 saja—bagi yang muslim bisa diniatkan sebagai zakat, infak atau sadaqah, yang lain sesuaikan dengan keyakinan masing-masing - maka dalam sebulan kita punya dana Rp800 juta.
Lalu berapa biaya untuk mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar PS-2? Bisa beragam jawabannya, tergantung kepada siapa diajukan pertanyaan tersebut. Menurut penulis jumlah yang cukup wajar adalah Rp80 juta. Hitungannya adalah Rp50 juta untuk biaya rehab rumah dan membeli perabotan layak pakai, Rp10 juta untuk biaya pelatihan intensif sesuai dengan minat dan ketertarikan anggota keluarga PS-2 bersangkutan, Rp20 juta untuk membeli peralatan dan bahan yang dibutuhkan guna membuka usaha setelah pelatihan dilakukan.
Kalau sebulan terkumpul dana sebesar Rp800 juta, berarti baru cukup untuk mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar PS-2 untuk 10 provinsi. Karena kita punya 34 provinsi, berarti butuh 3,5 bulan untuk mengumpulkan dana agar dapat mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar PS-2 di tiap provinsi. Artinya secara nominal, kepedulian masing-masing kita untuk dapat mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar PS-2 untuk setiap provinsi adalah senilai Rp350.000.
Selanjutnya bagaimana teknis pelaksanaannya? Pertama, tentu KMP membuat surat terbuka kepada masing-masing KMW terkait dengan penggalangan dana yang akan dilakukan. Dana yang terkumpul dari masing-masing KMW harus disetor dulu kepada rekening bersama yang dibuka KMP Wilayah 1 dan Wilayah 2. Hal tersebut diperlukan karena akan ada mekanisme subsidi silang dari akumulasi dana yang terkumpul antara satu KMW dengan KMW lain akibat sebaran fasilitator yang tidak sama. Terus apa nama gerakan kepeduliannya? Bisa “Fasilitator Peduli” atau “BLM Fasilitator” ataupun nama yang lain. Yang penting “Kita Peduli Kita Bisa Atasi”.
Demikian sedikit makna kata iqra’ dari penulis yang dibuat rangka menyambut dua pesta sekaligus, yaitu pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan “pesta” memerangi hawa nafsu atau puasa Ramadhan. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1435 H., mohon maaf lahir dan batin. [Sumbar]

Editor: Nina Firstavina

sumber : http://pnpm-perkotaan.org/wartadetil.asp?mid=6829&catid=2