Oleh:
Afriadi
TA LG
OC/KMW 1 Provinsi Sumatera Barat
PNPM Mandiri Perkotaan
Tulisan ini tidak akan bercerita tentang bagaimana kisah turunnya
surat pertama dalam Al-Quran, yaitu Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5 kepada Nabi
Muhammad, SAW. Tidak juga akan mengkaji mengapa perintah
iqra’
(bacalah) itu ditujukan kepada seorang Rasul yang ummi (tidak pandai
baca tulis), karena memang bukan kompetensi penulis. Tetapi sebagaimana
kata M. Quraish Shihab, dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran: Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat", ternyata kata
iqra'
berasal dari akar kata yang berarti “menghimpun”. Dan, dari kata
tersebut lahirlah aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks
tertulis maupun tidak.
Beranjak dari berbagai makna kata
iqra’ itulah muncul ide untuk menulis tulisan ini.
Iqra’ = membaca; menyampaikan. Sudah lebih 15 tahun
perjalanan PNPM Mandiri Perkotaan, jika dihitung sejak P2KP mulai tahun
1999. Jika transformasi sosial dari masyarakat tidak berdaya menjadi
berdaya di PNPM Mandiri Perkotaan diibaratkan Sekolah Dasar (SD).
Masyarakat berdaya menjadi mandiri adalah Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Maka benar tahun ini adalah tahun penentuan apakah kita akan
lulus ujian nasional. Apakah Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat
(BKM/LKM) kita akan lulus menjadi mandiri? Mari kita lihat dan baca
data-data yang ada.
Berdasarkan paparan Kepala Satker P2KP Pusat, saat pembukaan Training
of Trainers (ToT) Penguatan dan Expert Group Meeting (EGM) Tenaga Ahli
pada 21 Maret lalu, ternyata masih terdapat 3.773 kelurahan/desa (36%)
yang kinerja kelembagaannya masih status “Berdaya”. Ada yang mendapat
kelas akselerasi, sehingga
duluan lulus SMP dan mencapai status
“Menuju Madani” sebanyak 327 kelurahan/desa (3%), tetapi ternyata masih
ada juga yang sulit naik kelas karena statusnya “Belum Berdaya”, yaitu
sebanyak 37 kelurahan/desa (1%).
Jika lulus SMP (status “Mandiri&rdquo
merupakan persyaratan untuk masuk SMA—Alih Kelola oleh Pemerintah
Daerah (Pemda), maka memang perlu kerja keras untuk membuat 3.810
kelurahan/desa (37%) lagi lulus dengan status Mandiri. Orangtua yang
cerdas tentu tidak akan melepaskan begitu saja peningkatan kapasitas
anaknya kepada Bimbingan Belajar (Bimbel) agar anaknya lulus SMP.
Pengawasan selama 24 jam terhadap aktivitas anak adalah yang nomor 1.
Apakah si anak memang pergi ke Bimbel? Apakah di rumah anak mengulang
lagi pelajaran yang didapatkan? Kalau semua itu dilakukan maka insya
Allah anak akan lulus dengan nilai yang baik.
Begitu juga dengan kinerja kelembagaan LKM yang kita miliki. Status
“Mandiri”, bahkan “Menuju Madani” yang telah dicapai oleh sebagian besar
LKM seharusnya menjadi cambuk bagi LKM yang masih berstatus “Berdaya”
dan “Belum Berdaya”. Strategi dan langkah-langkah taktis yang akan
dilakukan telah disampaikan, baik pada Rapat Koordinasi (Rakor) Program
Director-Team Leader (PD-TL) maupun EGM Tenaga Ahli. Tinggal
pengendalian, pengawalan dan pengawasan.
Selanjutnya, tentu setiap orangtua tidak mau anaknya asal lulus saja,
lalu ketika masuk SMA ternyata tidak bisa apa-apa. Diterima di SMA
favorit, pastilah harapan dan dambaan setiap orang tua. Begitu juga
dengan LKM kita. Tentu kita tidak mau status “Mandiri” yang disandang
LKM hanya di atas kertas saja. Alangkah malunya kita kalau ternyata LKM
dengan status “Mandiri” itu ternyata belum mampu meyakinkan berbagai
stakeholder
terkait, untuk berperan serta dalam mendanai kegiatan-kegiatan yang ada
di PJM Pronangkis. Ternyata LKM yang menurut kita “Mandiri” tadi belum
layak untuk diajak bekerja sama menurut Pemda dan
stakeholder terkait.
Kalau memang LKM adalah salah satu komponen yang akan
dialih-kelolakan kepada Pemda, apakah kinerja kelembagaan LKM itu telah
tersosialisasi dan tersampaikan kepada seluruh aparat Pemda, mulai dari
tingkat kelurahan sampai dengan kota/kabupaten? Jangan-jangan kinerja
kelembagaan LKM tersebut masih sebatas kita, sebagai fasilitator, saja
yang mengetahuinya. Bahkan, bisa jadi ada anggota LKM yang tidak tahu
kinerja kelembagaan mereka sendiri.
Paparan Kepala Satker P2KP Pusat yang baru pada saat Rakor PD dan TL
OC 1 pada 22 Mei 2014 mengonfirmasi pertanyaan tersebut. Bahwa ternyata
memang arahan dan konsep pengembangan kemandirian LKM belum
tersosialisasi secara maksimal.
Iqra’ = menelaah; mendalami; meneliti; mengetahui
ciri sesuatu. Apa yang akan terjadi pada tahun 2015 dan seterusnya?
Apakah PNPM akan masih ada setelah terjadinya pertukaran rezim
pemerintahan? Pertanyaan yang masih terus dilontarkan masyarakat, aparat
Pemda, bahkan kita sendiri sebagai fasilitator pendamping juga. Bagi
masyarakat dan Pemda pertanyaan tersebut ujungnya jelas: agar BLM tetap
terus ada, karena masih banyak kegiatan di PJM Pronangkis yang belum
dilaksanakan. Sementara, ketersediaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) sangat terbatas. Sedangkan bagi kita fasilitator,
kepastian tetap adanya PNPM atau apapun namanya nanti maka ke
galauan terhadap terus berasapnya dapur, sedikit dapat dikurangi.
Tapi sebagaimana yang telah kita jalani selama ini, tidak ada yang
pasti di PNPM. Program yang sudah terjadwal untuk dilaksanakan, bisa
tertunda pelaksanaannya. Begitupun sebaliknya, sudah sering kita ketiban
tambahan kepercayaan, berupa program-program yang naik di tengah jalan.
Jadi mengapa kita harus
galau terhadap keberlanjutan PNPM pasca 2014? Bukankah dalam beberapa kesempatan
advisory telah menyampaikan, bahwa telah disiapkan beberapa program yang akan dilaksanakan pasca 2014, seperti program
pilot Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau Program Penghidupan Berkelanjutan (P2B),
pilot PDB dan
pilot Federasi UPK,
pilot Program Keuangan Mikro Syariah dan
pilot
BDC. Di samping itu, program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis
Komunitas (PLPBK), program Peningkatan Penghidupan Masyarakat Berbasis
Komunitas (PPMK), program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
(PRBBK) dan beberapa program lain sepertinya masih tetap akan ada pasca
2014.
Kalaupun ada yang membuat
galau penulis adalah UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa. Bukan dari sisi kesiapan LKM dalam merespon
berlakunya UU Desa tersebut, tetapi dari sisi kita sebagai pendamping.
Seandainya UU tentang Desa tersebut memang diberlakukan mulai tahun
2015, secara teori tentu wilayah-wilayah dampingan PNPM Mandiri
Perkotaan yang berstatus desa, bukan kita lagi yang mendampinginya. Akan
ada pengurangan wilayah dampingan PNPM Mandiri Perkotaan dengan jumlah
sangat signifikan.
Untuk Sumatera Barat saja, misalnya, akan terjadi pengurangan wilayah
dampingan sebanyak 110 desa (30%). Dari sebelumnya 369
kelurahan/desa/nagari akan menyusut menjadi 259 kelurahan. Implikasinya
tentu kebutuhan pendamping tidak akan sebanyak tahun 2014 lagi. Artinya
juga, kalaupun PNPM Mandiri Perkotaan tetap ada pada tahun 2015, banyak
dari kita yang tidak akan bersama lagi dalam mendampingi masyarakat.
Iqra’= menghimpun. Apa yang perlu kita himpun? Kalau PNPM
Mandiri Perkotaan punya slogan “Kita Peduli Kita Bisa Atasi” maka sudah
saatnya di ujung perjalanan PNPM Mandiri ini kita ikut mengatasi
kemiskinan dengan menghimpun kepedulian tersebut dalam bentuk yang lebih
kongkrit. Kalau dalam tulisan sebelumnya penulis mengajak untuk
mengeluarkan seorang warga miskin dari kelaparan satu hari (baca:
Antara PPLS, P1, P2 dengan PS-2),
kali ini penulis mengajak seluruh pendamping, mulai dari tingkat pusat
sampai dengan fasilitator kelurahan, untuk benar-benar mengeluarkan
warga miskin dari daftar PS-2. Setidaknya 1 KK PS-2 ditiap provinsi.
Begini usulan penulis. Sebagaimana Surat Direktur PBL No.
KU.01.08-cb/2269 tanggal 23 Desember 2013 perihal Perpanjangan Kontrak
Fasilitator/Asisten/Koordinator Kota Pelaksana Program PNPM Mandiri
Perkotaan TA. 2014, terdapat 7.655 orang pendamping, mulai dari Korkot
sampai dengan Faskel. Jika ditambah dengan fasilitator tingkat pusat
(KMP) dan provinsi (KMW) maka setidaknya terdapat 8.000 orang
fasilitator. Kalau masing-masing kita menyisihkan sebagian pendapatan
sebulan dari PNPM sebesar Rp100.000 saja—bagi yang muslim bisa diniatkan
sebagai zakat, infak atau sadaqah, yang lain sesuaikan dengan keyakinan
masing-masing - maka dalam sebulan kita punya dana Rp800 juta.
Lalu berapa biaya untuk mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar
PS-2? Bisa beragam jawabannya, tergantung kepada siapa diajukan
pertanyaan tersebut. Menurut penulis jumlah yang cukup wajar adalah Rp80
juta. Hitungannya adalah Rp50 juta untuk biaya rehab rumah dan membeli
perabotan layak pakai, Rp10 juta untuk biaya pelatihan intensif sesuai
dengan minat dan ketertarikan anggota keluarga PS-2 bersangkutan, Rp20
juta untuk membeli peralatan dan bahan yang dibutuhkan guna membuka
usaha setelah pelatihan dilakukan.
Kalau sebulan terkumpul dana sebesar Rp800 juta, berarti baru cukup
untuk mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar PS-2 untuk 10 provinsi.
Karena kita punya 34 provinsi, berarti butuh 3,5 bulan untuk
mengumpulkan dana agar dapat mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar
PS-2 di tiap provinsi. Artinya secara nominal, kepedulian masing-masing
kita untuk dapat mengeluarkan 1 KK warga miskin dari daftar PS-2 untuk
setiap provinsi adalah senilai Rp350.000.
Selanjutnya bagaimana teknis pelaksanaannya? Pertama, tentu KMP
membuat surat terbuka kepada masing-masing KMW terkait dengan
penggalangan dana yang akan dilakukan. Dana yang terkumpul dari
masing-masing KMW harus disetor dulu kepada rekening bersama yang dibuka
KMP Wilayah 1 dan Wilayah 2. Hal tersebut diperlukan karena akan ada
mekanisme subsidi silang dari akumulasi dana yang terkumpul antara satu
KMW dengan KMW lain akibat sebaran fasilitator yang tidak sama. Terus
apa nama gerakan kepeduliannya? Bisa “Fasilitator Peduli” atau “BLM
Fasilitator” ataupun nama yang lain. Yang penting “Kita Peduli Kita Bisa
Atasi”.
Demikian sedikit makna kata iqra’ dari penulis yang dibuat rangka
menyambut dua pesta sekaligus, yaitu pesta demokrasi Pemilihan Presiden
(Pilpres) dan “pesta” memerangi hawa nafsu atau puasa Ramadhan. Selamat
Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1435 H., mohon maaf lahir dan batin. [
Sumbar]
Editor: Nina Firstavina
sumber : http://pnpm-perkotaan.org/wartadetil.asp?mid=6829&catid=2