PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Senin, 20 Oktober 2014

Mendudukkan Perkara RPJM, PJM Pronangkis dan RTPLP Desa

Yogyakarta, 14 Oktober 2014
Mendudukkan Perkara RPJM, PJM Pronangkis dan RTPLP Desa

Oleh:
Nanang PriyanaTeam Leader
OSP 5 Provinsi DI Yogyakarta   
PNPM Mandiri Perkotaan
Setelah membuat tulisan berjudul "Era Baru PJM Pronangkis" yang tayang pada tanggal 17 April 2014 di website ini, saya menduga persoalan sudah ada titik terang. Duduk perkara antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Program Jangka Menengah (PJM) Program Penanggulangan Kemiskinan (Pronangkis) Desa bisa diintegrasikan dari sisi proses maupun produknya. Tinggal disusun kebijakan dan strategi implementasi agar segera dapat dilaksanakan. Namun ketika membaca materi Lokalatih Keberlanjutan Program Bagi Pemerintah Kota/Kabupaten yang berlangsung di Batam pada 8 – 10 September 2014 sedikit ada yang mengganjal. Dalam kumpulan materi yang diunggah dalam situs www.p2kp.org masih terselip materi tentang PJM Plus. Lalu muncul pertanyaan dimana relevansinya konsep One Village One Plan (OVOP) menjadi rumusan rekomendasi lokalatih yang dihasilkan.
RPJM Desa
Dalam pasal 79 Undang-undang (UU) No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan desa maka Pemerintah Desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud meliputi: RPJM Desa untuk jangka waktu enam tahun; dan Rencana Pembangunan Tahunan (RPT) Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa, yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu satu tahun. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa RPJM dan KPD Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di desa.
Dalam konteks ini tidak ada pilihan kecuali harus dilakukan integrasi antara RPJM dan PJM Pronangkis Desa, baik dari sisi proses maupun dari sisi produk. Risikonya adalah melanggar UU. PJM Pronangkis adalah suatu hasil dari proses perencanaan partisipatif dengan perspektif waktu 3 tahun dari suatu program penangulangan kemiskinan di suatu kelurahan/desa. PJM Pronangkis ini kemudian dijabarkan menjadi Renta (rencana tahunan) yang merupakan rencana investasi tahunan dalam upaya penangulangan kemiskinan suatu kelurahan/desa.
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan sebenarnya telah diantisipasi kemungkinan integrasi PJM Pronangkis dan RPJM Desa. Pelaksanaan siklus dibedakan antara Siklus Masyarakat Tingkat Dasar dan Siklus Masyarakat Tingkat Lanjut. Untuk siklus PJM Pronangkis diuraikan sebagai berikut (Hal 35-36):
Siklus Masyarakat Tingkat Dasar Siklus Masyarakat Tingkat Lanjut
  • Menghasilkan relawan/BKM/LKM yang mampu melaksanakan Penyusunan rencana program
  • Tersusunnya program pembangunan kelurahan jangka menengah yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan
  • Menghasilkan relawan/BKM/LKM yang mampu melaksanakan penyusunan rencana program yang lebih komprehensif
  • Tersusunnya program pembangunan kelurahan jangka menengah yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan penataan lingkungan permukiman yang lebih baik
Kemampuan menyusun rencana yang komprehensif dan penyusunan program pembangunan desa yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan bisa dimaknai bahwa pada siklus tingkat lanjut adalah tersusunnya dokumen RPJM Desa secara partisipatif dan pro poor.
RTPLP
Wacana PJM Plus sudah mengemuka jauh sebelumnya. Isu ini tak ada hubungannya dengan implementasi UU Desa, melainkan bagaimana mengintegrasikan PJM Pronangkis dengan produk perencanaan PLPBK Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP). Dalam TOT Pemandu Nasional tahun 2012 di Lembang isu ini sudah digulirkan. Bagaimana menyatukan dokumen perencanaan yang sama-sama difasilitasi oleh PNPM Mandiri Perkotaan. Artinya, proses pendampingan PLPBK akan menghasilkan dokumen PJM Plus, yakni gabungan antara PJM Pronangkis dan RTPLP atau PJM Pronangkis dengan format RTPLP. Bahkan ada yang melontarkan ide PJM Plus Plus yang mengabungkan RPJM, PJM Pronangkis dan RTPLP Desa.
Ide PJM Plus ini sebenarnya lebih mudah dilakukan karena tidak melibatkan kebijakan institusi lain. Kalau integrasi PJM Pronangkis dan RPJM Desa menurut rekomendasi Lokalatih Keberlanjutan di Batam yang lalu, membutuhkan regulasi baik dalam bentuk Permendagri maupun Perda yang mangatur tentang tata cara penyusunan RPJM Desa. Sebaliknya integrasi dan penyatuan dalam bentuk PJM Plus cukup dilandasi oleh kebijakan di internal PNPM Mandiri Perkotaan. Kenapa isu itu tidak menguat dan implemetasinya tidak jalan. Sebab utamanya bukan pada kebijakan, tetapi lebih karena kerangka pikirnya yang lemah.
Dalam Buku Pedoman Teknis PLPBK, disebutkan Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP) adalah rencana rinci tata ruang dengan kedalaman rencana penataan bangunan dan lingkungan kawasan prioritas permukiman miskin, untuk kurun waktu 5 tahun. RTPLP merupakan dokumen rencana tata ruang kawasan prioritas yang dilengkapi dengan peta berskala 1: 1.000, arahan pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat, rencana sistem sarana prasarana kawasan prioritas, rencana investasi, serta DED untuk kegiatan yang dilaksanakan (hal 12).
Jadi RTPLP adalah dokumen perencanaan tata ruang, sedangkan RPJM dan PJM Pronangkis Desa adalah dokumen perencanaan program. Kedua jenis perencanaan berada dalam ranah yang berbeda dan tidak bisa disatukan. Keduanya harus tetap ada, dan justru harus saling mendukung dan mengendalikan. Perencanaan program harus didukung dan dikendalikan oleh perencanaan tata ruang. Demikian juga sebaliknya.
Analoginya bisa dilihat dalam skala pemerintahan yang lebih tinggi misalnya di kabupaaten/kota. Setiap kabupaten/kota mempunyai Perda RPJMD yang disusun setelah bupati/walikota terlilih. Namun masing kabupaten/kota mempunyai Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Demikian juga pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Kedua dokumen itu tetap ada, namun harus saling mendukung dan mengendalikan. Pemda tidak bisa membuat program tidak sesuai atau bertentangan dengan Perda RTRW.
Dalam konteks desa RTPLP tetap ada, justru untuk menjabarkan suatu program penataan lingkungan permukiman miskin yang telah ditetapkan dalam RPJM Desa. RTPLP berisi perincian rencana penataan permukiman disertai dengan rancangan sistem jaringannya dilengkapi dengan desain dan petanya. Karena dokumen perencanaan baik RPJM maupun PJM Pronangkis Desa selama ini hanya berisi indikasi program dan estimasi anggaran dan waktu pelaksanaanya. Justru program penataan permukiman kumuh, padat dan miskin yang telah masuk dalam indikasi program akan diuraikan dalam dokumen RTPLP. [DIY]
Editor: Nina Firstavina

Pinjaman Bergulir, Strategis tapi Menantang

Makassar, 21 Oktober 2014

Oleh:
Kamaruddin Andi Jemang
Team Leader
OSP 8 Provinsi Sulawesi Selatan
PNPM Mandiri Perkotaan
Pengelolaan pinjaman bergulir sepanjang pelaksanaan program PNPM Mandiri Perkotaan menjadi salah satu isu yang terus menjadi sorotan, akibat tidak pernah selesainya persoalan-persoalan yang terjadi. Fenomena ini sepertinya menjadi masalah nasional, karena hampir semua provinsi terjebak di masalah yang sama. Terutama jika melihat data Revolving Loan Fund (RLF) yang setiap periodenya mengalami tren penurunan di semua tempat.
Sebagai pelaku tentunya kita bertanggung jawab untuk terus mendorong adanya perbaikan pengelolaan dana bergulir Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM), karena tidak saja berimplikasi pada performa program tetapi juga keberadaannya sangat strategis dalam menjamin keberlangsungan LKM serta kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan secara mandiri oleh masyarakat. Menyadari hal itu, tulisan ini bermaksud menggugah kesadaran pelaku untuk terus mendorong pendampingan yang efektif dalam kegiatan pengelolaan dana bergulir agar tren negatif yang terus terjadi dapat ditekan, bahkan kalau bisa menjadi positif.
Beberapa pokok-pokok pikiran terkait pengelolaan dana bergulir dimaksud akan kami share berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang telah diinisiasi oleh teman-teman di Sulawesi.
Pertama, Pendampingan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Pendampingan KSM dalam perspektif ini adalah berbicara tentang efektivitas pengorganisasian KSM mulai dari tahap pembentukan sampai pemeliharaan. Fenomena umum menunjukkan bahwa intensitas dan kualitas pendampingan terkait pengorganisasian KSM kelihatannya tidak menjadi prioritas oleh teman-teman sehingga KSM-KSM yang ada umumnya belum paham substansi pentingnya berkelompok maupun visi dan semangat berusaha yang relatif belum siap.
Pada sisi lain, berdasar pengalaman, kita juga tidak jarang terjebak dalam pengelolaan KSM yang terlalu banyak sehingga KSM-KSM tersebut menjadi sulit untuk didampingi dan dimonitor. Hal tersebut berimplikasi pada efektivitas pendampingan dimana sangat sedikit waktu buat teman-teman untuk melakukan sharing dan penguatan kepada anggota KSM akibat terlalu banyaknya pihak yang harus dikendalikan.
Dalam perspektif ini, mungkin sudah saatnya berpikir pendampingan yang berkualitas daripada terjebak di kuantitasnya saja. Bukankah lebih baik sedikit KSM tapi baik daripada banyak tetapi bermasalah. Hal ini penting dipikirkan terutama bagi lokasi-lokasi PNPM Mandiri Perkotaan yang saat ini sama sekali sudah tidak melakukan kegiatan-kegiatan perguliran dana alias macet total.
Kedua, Penanganan Kredit Macet. Fenomena tunggakan dana bergulir kita, sepertinya mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Jika melihat data Nasional, tunggakan pinjaman bergulir sudah berada dalam kategori cukup memprihatinkan. Diperlukan upaya sistematis dan konsisten terhadap penanganan tunggakan tersebut oleh karena jika dibiarkan akan semakin parah.
Hal pertama yang mesti dilakukan adalah terbangunnya komitmen semua pihak untuk tetap yakin bahwa fenomena tunggakan masih bisa diselesaikan. Keyakinan tersebut dianggap penting, tidak hanya dalam kerangka memotivasi pelaku tetapi sekaligus menjadi isu yang terus menggelinding, sehingga diharapkan tetap terus tertangani.
Penanganan kredit macet tersebut harus diawali dengan pemetaan lokasi yang baik, dan kemudian selanjutnya pelan-pelan melakukan intervensi pendampingan di lokasi yang paling mudah untuk diselesaikan. Di OSP 8 Sulawesi kebijakan ini telah diinisiasi oleh beberapa provinsi dengan istilah “penanganan tunggakan satu tim satu kelurahan per bulan”. Kebijakan ini ternyata cukup efektif dalam meminimalisir peningkatan tunggakan di setiap bulannya bahkan di beberapa tempat mengalam trend perbaikan.
Logika satu kelurahan per tim per bulan sesungguhnya cukup sederhana, di mana teman-teman cukup merawat Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang masih baik serta berupaya menambah satu kelurahan menjadi baik tiap bulan. Bisa dibayangkan jika semua tim memiliki komitmen yang sama, maka akan terjadi perbaikan dana bergulir secara signifikan di beberapa tempat meskipun juga secara rasional disadari tidak semua lokasi dampingan kita bisa diperbaiki.
Ketiga, Peran Pemerintah Kota/Kabupaten. Salah satu pihak yang ternyata sangat potensial mendorong perguliran dana yang sehat adalah pemerintah kota/kabupaten di semua level mulai dari bupati/wali kota, Satker, PJOK, maupun lurah. Berbicara fakta mungkin menarik menyajikan apa yang sementara dirintis oleh teman-teman di Korkot Makassar dan Korkot Gowa, dimana mereka secara berjenjang membangun komunikasi kepada pemerintah daerah untuk turut mengambil bagian dalam penanganan pinjaman bergulir. Meskipun belum bisa diukur secara angka tetapi dengan keterlibatan pemerintah daerah tersebut, ternyata membuat kegiatan-kegiatan penanganan pinjaman bergulir lebih bergairah.
Dengan terlibatnya pemerintah kota/kabupaten terhadap isu ini, otomatis membuat jajaran di bawahnya menjadi ikut peduli dan terlibat sehingga kegiatan-kegiatan pendampingan tidak melulu hanya melibatkan teman-teman fasilitator dan konsultan. Dalam perspektif lain ternyata pemikiran bahwa pemerintah kota/kabupaten tidak mau peduli juga menjadi terbantahkan dengan realitas ini. Mungkin yang penting untuk dibangun di awal adalah komunikasi yang efektif dengan pengambil kebijakan di tingkat kota.
Apalagi peran pemerintah daerah terhadap lokasi PNPM Mandiri Perkotaan ke depannya sangat penting untuk menjamin keberlansungan keorganisasian LKM dan UPK-nya, karena beberapa fakta menunjukkan lokasi yang cukup baik dan mandiri saja saat ditinggalkan pada akhirnya pelan-pelan akan mengalami kemunduran karena merasa jalan sendiri. Fenomena ini tergambar jelas terhadap salah satu lokasi P2KP yang cukup baik di masa lalu yakni Kabupaten Enrekang. Beberapa saat yang lalu kami menyempatkan mampir ke lokasi tersebut, satu harapan yang sangat dinantikan adalah perhatian pemerintah daerah terhadap LKM dan UPK-nya.
Demikian tiga sisi yang sempat disoroti dalam tulisan ini, tentunya masih banyak sisi lain yang perlu diperhatikan untuk penangananan dana bergulir yang sehat dan berkelanjutan. Terima kasih kepada teman-teman yang telah menginspirasi tulisan ini, terutama teman-teman di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. [Sulsel]
Editor: Nina Firstavina