PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Rabu, 12 November 2014

Pahlawan-pahlawan Kesiangan Itu

Padang, 10 November 2014

Oleh:
Hendri Matias TA LG
OC 1 Provinsi Sumatera Barat    
PNPM Mandiri Perkotaan
Kita harus akui bahwa bangsa ini ada karena perjuangan para pahlawan yang berjuang tanpa pamrih. Bukannya pahlawan yang mengaku-ngaku jadi pahlawan. Kalaulah para pahlawan itu tidak fokus dan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, saya yakin sampai saat ini kita masih akan tetap terjajah oleh bangsa asing. Saat ini berkembang istilah dan fenomena Londo ireng” (Belanda hitam), di mana anak bangsa sendiri ikut-ikut menjajah anak bangsa yang lain.
Fenomena Londo ireng” sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, yang dikenal dengan nama KNIL atau het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, yang secara harafiah artinya Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Yang menarik, hampir 71% anggotanya adalah Bumiputra—orang Indonesia; tak usah disebutkan sukunya, nanti jadi sara. Silakan browsing saja, ya, he..he.. Dan ini berlangsung sejak 1815-1950. KNIL dibubarkan dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia, serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Tahun 1950, KNIL dibubarkan, berdasarkan keputusan kerajaan tertanggal 20 Juli 1950. Dan, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00 WIB, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan dibubarkan. Lalu, berdasar hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), mantan tentara KNIL yang saat itu jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000, yang ingin masuk ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian, pada tahun 1970-an, mencapai pangkat Mayor Jenderal TNI. Jumlah orang KNIL dari Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang. (Sumber: wikipedia.org) 
Secara logika tidak mungkin Belanda dengan jumlah penduduknya akan bisa membuat tentara sendiri dan mengawasi negara jajahan. Makanya mereka perlu orang-orang Bumiputra, atau penduduk jajahan, dijadikan tentara. Tentu dengan proses dan metode yang tidak gampang, karena harus berhadapan dengan saudara sebangsanya sendiri. Namun, ternyata hal ini bisa dilakukan. Inilah hebatnya penjajah. Tapi, waduh, terjebak bahas KNIL. Kita sudahi dulu membahas ini. Lanjutkan dengan diskusi fenomena “pahlawan”, terutama pahlawan kesiangan.
Ilustrasi Pertempuran Surabaya, 10 November 1945
(sumber: google)
Kenapa kita bahas KNIL di awal tulisan ini adalah untuk mengingatkan kita semua, bagaimana fenomena menjajah bangsa sendiri sudah ada sejak zaman kolonial yang diinisiasi oleh saudara-saudara kita “bangsa Belanda”. Sebagai bangsa yang merdeka dan dilihat dari perspektif manapun, tidak satupun anak bangsa yang boleh menjajah anak bangsa lain. Karena kemerdekaan ini tidak gampang memperjuangkannya, dan merupakan hak bagi segenap bangsa Indonesia, yang sudah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945.
Namun realitas lapangan, terkadang masih kita lihat perilaku imperialis dalam berkegiatan, berkarya, dan aktivitas hidup berbangsa dan bernegara. Saya tidak akan menunjuk dan menyebut nama orang per orangan, apakah Anda termasuk kategori Londo ireng”, "pahlawan kesiangan", atau memang benar-benar pahlawan sejati. Karena, tidak jarang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, pilihan perilakunya hanya dua: kalau tidak jadi pemenang, ya jadi pecundang. Jarang sekali yang memosisikan diri sebagai orang yang dapat berkompromi dengan kekalahan, dan akhirnya semua ingin jadi pemenang.
Kalau dalam berkegiatan Anda lebih mengandalkan teman ketimbang usaha sendiri, dan memaksa teman untuk menyelesaikan tanggung jawab yang seharusnya anda juga bertanggung jawab di sana, berarti anda termasuk kategori Londo ireng”. Karena begitulah sifat Londo ireng”: memberikan tanggung jawab kepada saudara sendiri dan memanfaatkan teman apakah “terpaksa” atau “ikhlas” untuk menyelesaikannya. Lalu, Anda mengklaim bahwa Anda adalah bagian dari pekerjaan dan tanggung jawab itu. Akan lebih parah kalau mengaku mengerjakannya sendiri, itu lebih biadab lagi.
Tidak jarang orang berbuat, teorinya terlalu tinggi di langit. Pas dibumi tidak ada apa-apanya. Tak ada yang gratis lah. Semuanya ada hitung-hitungannya. Mudah di awal, ribetnya minta ampun di akhir. Mengutip pepatah teman saya yang aktif di salah satu Parpol: Tidak ada makan siang yang gratis. Semuanya itu ada hitung-hitungannya sendiri.
Sementara itu, kalau dalam proses kegiatan dan tanggung jawab Anda cuek saja, pura-pura tidak tahu, dan kalau sudah ada hasilnya Anda akan memposisikan diri sebagai orang yang paling berkontribusi besar dan berperan luar biasa, malah keluar sederet teori-teori yang menjustifikasi kalau itu adalah usaha Anda, bahwa Anda sudah lakukan sebelum yang lain memikirkannya, hebat! Dan, Anda akan dianggap jadi pahlawan bagi orang yang tidak tahu realitas dan bergaul dengan anda. Anda akan langsung dinobatkan jadi pahlawan di mata orang luar. Ini termasuk kategori “Pahlawan kesiangan” . Kalau Anda termasuk kategori ini, mungkin tidak hanya manusia yang Anda “jajah” akan marah, tapi Tuhan pun akan marah. Dan jika Tuhan marah, tempat pulang Anda adalah “neraka”. Iiih, ngeri!
Sementara yang ketiga adalah kategori “pahlawan sejati”, dimana dalam berkegiatan tidak ada aksesoris kehidupan duniawi yang dibawa. Lebih fokus mengejewantahkan dan mengejar substansi. Fokus pada customer ketimbang stakeholders. Di sela output, ada outcome yang juga tidak kalah penting. Tanpa peduli pada kebutuhan akan pujian dan apresiasi manusia dan apa yang dikerjakan lebih dianggap sebagai nilai ibadah di mata Penciptanya. Seperti harapan Team Leader (TL) Sumatera Barat (Sumbar) kepada semua pelaku: Apa yang kita lakoni dalam pekerjaaan dapat bernilai ibadah di mata Tuhan.
Cuma pertanyaanya, masih ada dan dapat tempatkah orang seperti ini, dimana kini orang lebih sibuk membicarakan yang fisik saja. Tidak percaya dengan yang metafisik. Berapa persen jugakah pimpinan bangsa ini yang lebih punya jiwa pahlawan sejati ketimbang pahlawan kesiangan? Jangan-jangan jiwa “Londo ireng”-nya lebih dominan.
Kalau Anda kebetulan seperti itu, segera ke “neraka”, bakar semua dosa. Atau ceburkan diri ke laut kalau tidak bisa tobat. Ini hanya sebuah refleksi di Hari Pahlawan. Wassalam. [Sumbar]
Editor: Nina Firstavina

Tidak ada komentar: