PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Selasa, 23 September 2014

PNPM Tutup Buku

Madiun, 23 September 2014

Oleh:
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.        
Askot CD Mandiri Kab. Madiun   
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan
Perdebatan mengenai keberlangsungan program ini sudah lama mengemuka. Bahkan jauh sebelum pelaksanaan pemilihan umum calon presiden dan calon wakil presiden desas desus keberlanjutan progam ini hangat diperbincangkan oleh pelaku program. Meminjam bahasa Team Leader (TL) OSP 5 PNPM Mandiri Perkotaan Provinsi DI Yogyakarta Nanang Priyana dalam artikel “PNPM Akan Berakhir?”, bahwa tidak hanya orang miskin yang dipertanyakan nasibnya, dan keberlanjutan Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM), tetapi nasib kita sebagai pendamping.
Tak bisa dihindari, program ini menjadi kuda tunggangan dan tersandera untuk mendukung salah satu kandidat calon presiden dan calon wakil presiden beberapa bulan lalu. Tendensius, perbincangan di kalangan pelaku program bahwa jika Si A yang menjadi presiden maka PNPM akan tetap berlanjut, dan jika si B yang menjadi presiden maka PNPM ini akan berakhir. Penilaian ini sah-sah saja. Keyakinan kuat itu kadangkala ditunjukkan untuk mendukung dan melakukan kampanye agar si A bisa terpilih menjadi presiden, semata-mata untuk menjaga agar PNPM bisa berlanjut.
 Inilah yang oleh Karl Mannheim dalam buku “IDEOLOGI and UTOPIA, An Introduction to The Social of Knowledge” agar kita tidak mengingkari kebenaran dan pemikiran yang tidak sejalan dengan kita. Mannheim mencoba bahwa pandangan dan pendapat sebagai produk pemikiran itu lahir dari ruang sosial politik dan kebudayaan yang turut mempengaruhi sesorang dalam cara berpikir. Maka amat wajar, jika kita kaitkan dengan persoalan hajatan demokrasi Indonesia pelaku program terbelah menjadi dua kubu yang memiliki cara pandang politik yang berbeda. Tentu kita harus mengapresiasi perbedaan sebagai wujud dinamika dan kekayaan kita sebagai sebuah bangsa.
Kita tahu, bahwa program ini akan segera tutup buku. Sebagai sebuah produk politik dan kebijakan SBY, program ini hanya diikat oleh peraturan presiden dimana legalitasnya sangat lemah. Oleh karena itu, hal mendasar yang menjadi pekerjaan rumah kita adalah keberlanjutan LKM atau BKM, dan kita. Apakah eksistensi LKM itu seiring dengan adanya BLM? Atau keberadaan LKM itu menjadi payung sosial kultural masyarakat yang akan tetap eksis tanpa adanya BLM?karena banyak masyarakat merasa keberadaan LKM sebagai oase di tengah pembangunan yang dinilai selama ini tidak partisipatif terhadap warga miskin. Bahkan ada sebagian menilai bahwa LKM atau PNPM dinilai sebagai role model dan program yang memiliki kreteria yang berbeda dengan berbagai program yang pernah ada di masyarakat. Sehingga manfaatanya sangat terasa bagi warga miskin.
LKM sebagai Tenda Kultural
Tentu kita memahami gagasan Francis Fukuyama mengenai Modal Sosial. Ia menilai bahwa modal sosial merupakan seperangkat nilai atau norma yang dibawa oleh anggota kelompok di dalam komunitas yang memungkinkan berlangsungnya kerjasama di antara mereka didasari oleh tumbuhnya nilai kepercayaan di antara anggota kelompok. Rasa saling percaya lahir dari norma-norma yang ditumbuhkan di lingkungan keluarga seperti kejujuran, menunaikan kewajiban, bertanggung jawab dan berlangsung secara timbal-balik. Kepercayaan yang dilandasi oleh norma-norma tersebut seperti pelumas yang membuat komunitas atau organisasi dapat dijalankan lebih efisien.
Bahkan, penggagasnya, Robert Putnam mewanti-wanti betapa pentingnya modal sosial itu. Intelektual tak cukup memberi bukti dan memberikan jaminan akan eksistensi dan keberhasilan seseorang di era industrialisasi seperti dewasa ini. Apalagi jika dikaitkan dengan posisi dan keberadaan LKM sebagai tenda, payung masyarakat dimana partisipasi, akuntablitas, integritas, kejujuran menjadi perekat dalam melahirkan harmonisasi sosial masyarakat. Itulah kiranya harapan jangka panjang bahwa LKM tidak sekedar symbol,institusi yang tidak berdampak kepada kemajuan masyarakat. LKM tetap menjadi kelembagaan kultural yang menjadi piranti dalam melahirkan masayarakat yang transparan, jujur, dan berpegang teguh terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagai jati diri LKM itu sendiri.
Sinergi LKM dengan Pemerintah Desa
Saat ada wacana bahwa PNPM akan tutup buku bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden SBY, kepanikan pertama tampakya bukan dari masyarakat miskin (PS2) pemerintahan desa atau LKM dimana selama ini menjadi pelopor dalam penanggulangan kemiskinan. Justru kepanikan itu datang dari pelaku kita sebagai pelaku program itu sendiri. Tentu ini menjadi hipotesis kita bersama. Dari berbagai pertanyaan teman-teman mengenai keberlanjutan program, jika dikalkulasi lebih banyak para pendamping ketimbang BKM/LKM yang bertanya mengenai keberlanjutan program.
Karena saya tidak mempunyai kapasitas untuk menjawab atau menjelaskan mengenai keberlanjutan program, saya asal nyeplossaja. Selama Negara ini termasuk Negara berkembang, Negara miskin yang dimiskinkan oleh Negara, maka program pemberdayaan pasti akan berlanjut, entah apa namanya.
Kiranya pertanyaan atau kegelisahan mengenai keberlanjutan program sangat wajar, pengalaman pendamping yang sudah berjibaku dengan masyarakat seolah sulit dipisahkan jika secara tiba-tiba program ini selesai. Hubungan emosional pendamping dengan masyarakat menggambarkan betapa relasi sosial yang dibangun untuk memperjuangkan kesejahteraan warga miskin bukanlah hal mudah.
Ada hal substansial yang perlu dikuliti bahwa eksistensi LKM/BKM tak seindah yang dibayangkan banyak orang atau cita-cita program. Hadirnya LKM sebagai lembaga yang representatif dan mengakar dan mewakili nilai-nilai tidak berkelindan dengan realitas sosial yang ada di masyarakat. Di satu LKM seringkali tidak bisa bersinergi dengan pemerintahan desa untuk bersama-sama memerangi kemiskinan. Hal ini terjadi karena adanya cara pandang yang berbeda dalam penanggulangan kemiskinan. Bahkan lebih tragis, masih ada elit desa yang memandang sebelah mata terhadap keberadaan LKM.
Hal ini terjadi karena, LKM dibentuk menabrak arus mainstream yang ada di masyarakat, sehingga yang mengelola dan menjadi pengurus LKM adalah pilihan masyarakat berdasarkan kreteria baik, jujur, amanah. Fakta ini memutar balik jarum jam sejarah, dimana selama ini pengurus program yang masuk di desa adalah orang yang memiliki relasi dengan elit pemerintahan desa.
Oleh karena itu, di sisa waktu yang ada ini, perlu kiranya LKM meningkatkan sinergi, kolaborasi dan harmonisasi dengan pemerintahan desa. Momentum pelaksanaan review partisipatif ini mampu dijadikan media koordinasi dan komunikasi evaluasi terhadap pelaksanaan program. Akhiri kesan dan stigma bahwa PNPM itu adalah LKM, tetapi PNPM adalah media dan alat bersama untuk menuju masyarakat yang sejahtera. Sehingga sekat yang pernah ada bahwa pemerintahan Desa tidak tahu menahu bahkan tidak mau tahu terhadap PNPM dan LKM adalah kisah sejarah pahit yang hanya melanggengkan kemiskinan warga
PJM Naik Kelas. Kapan?
Tidak bisa mengelak bahwa PJM adalah mahakarya perencanaan masyarakat. Panggung yang diberikan program kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi pemain dalam pentas pembangunan. Itulah bentuk protes terhadap konsep pembangunan dimana masyarakat tidak dilibatkan selama ini. Partisipatif menjadi doktrin pembangunan untuk mengakhiri marginalisasi dan alinasi masyarakat dimana masyarakat hanya menjadi penonton dan penikmat pembangunan itu sendiri.
Mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembangunan tak semudah membalikkan telapak tangan. Mental menerabas dan pragmatis agak mengganggu proses pembelajaran di masyarakat, walaupun itu diartikan sebagai tantangan bagi kita, para pendamping program. Menempatkan BLM sebagai media pembelajaran masyarakat tidak linear dengan cita-cita program. Dalam waktu bersamaan, BLM justru sebagai tujuan dan puncak kesuksesan program, sehingga alat ukurnya adalah BLM cair ke masyarakat.
Di lain pihak, ada yang bersikukuh bahwa PJM sebagai buah karya masyarakat harus diapresiasi. Jika PJM-nya belum ada, jangan bermimpi BLM bisa dicairkan, apalagi dimanfaatkan. Walaupun ada tetangga sebelah mengatakan, dan sering berbisik, tidak apa-apa, BLM cair, PJM-Renta belakangan.
Tidak hanya berharap, tidak hanya memotivasi apalagi berdoa, bahwa PJM naik kelas menjadi keniscayaan sejarah. Keberlanjutan program ini tidak hanya diikat oleh dana BLM atau segepok uang kemasyarakat. Tetapi menyatu dalam mimpi dan cita-cita bersama melalui perencanaan partisiaptif dan integratif itu.
Beberapa bulan lalu, status editor Website mengenai PJM naik kelas, status itu direspon beraneka ragam utamanya dari pelaku program. Dari berbagai ide, ulasan dan pernyataan yang beraneka ragam, akhirnya TA Kelembagaan dan Pengelolaan Kegiatan Sosial KMP PNPM Mandiri Perkotaan Tomy Risqi muncul memberikan penjelasan singkat mengenai PJM naik kelas.
Tomy menjelaskan bahwa ada mimpi besar yang akan diraih melalui PJM naik kelas. PJM itu harus berorientasi dan mampu menjawab semua persoalan pembangunan dan pro poor. Maka bisa dipastikan manakala PJM naik kelas itu posisi PJM sudah mengakomodasi empat hal. Pertama, berorientasi kawasan. Kedua, responsif gender Ketiga, tanggap bencana dan berbasis mata pencaharian lokal (sustainable livelihood)Keempat, terintegrasi dengan perencanaan lokal, RPJMDES/Renstra Kelurahan dan RKP.
Lantas posisi PJM kita di mana? Dari keempat hal yang menjadi ruh dan substansi PJM naik kelas, kira-kira, PJM kita posisi no berapa? Alih-alih berpikir PJM naik kelas,atau malah masih galau dan gamang PJM kita harus seperti apa? Atau justru muncul anggapan PJM hanya syarat pencairan dan pemanfaatan? Jika itu yang terjadi, PJM naik kelas atau kenaikan kelas PJM ditunda. [Jatim]
Editor: Nina Firstavina

Tidak ada komentar: