PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Kamis, 16 Oktober 2014

UU Desa dan Nasib Pendamping

Madiun, 13 Oktober 2014


Oleh:
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.        
Askot CD Mandiri Kab. Madiun   
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan
Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Waktu yang melampaui satu periode masa kerja DPR. Perjuangan kepala desa yang mengatasnamakan warga desa seluruh Indonesia, yang tergabung dalam Forum Parade Nusantara, akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 8 Desember tahun 2013, DPR menyetujui Rancangan Undang-undang Desa (RUU Desa) menjadi UU. Pada 15 Januari 2014, akhirnya Presiden SBY mengesahkan RUU. Desa menjadi UU Desa No.6 tahun 2014. Sungguh fantastis, dana Rp1,4 miliar per tahun akan dinikmati oleh 72.000 desa seluruh Indonesia. Kesejahteraan warga desa menjadi orientasi pembangunan jangka panjang. Tampaknya, dalam setiap lembaran rezim, kesejahteraan warga utamanya warga desa atau pinggiran menjadi dagangan politik bagi para politisi. Sehingga, tidak heran manakala UU ini menjadi daya pesona bagi masyarakat bahwa Negara serius memikirkan kesejahteraan masyarakat desa.
Tentu UU Desa ini harus diapresiasi oleh kita semua. Semangat untuk memajukan desa dan mensejahterakan warga desa menjadi keniscayaan yang tidak bisa dibantah. Tidak ada dalil apapun yang bisa membantah bahwa UU Desa menjadi bukti dan political will bagi politisi dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan adanya UU Desa, endemik kemiskinan yang mendera masyarakat desa bisa dikurangi. Anggapan selama ini bahwa desa menjadi lumbung kemiskinan dan keterbelakangan di satu sisi menjadi absah adanya. Tetapi stigma tersebut tidak bisa dibiarkan secara berlarut-larut, sehingga menimbulkan kesan bahwa desa menjadi hunian masyarakat yang memiliki SDM rendah, pendapatan rendah dan keterbelakangan permanen. Maka ikhtiar UU No. 6/2014 ini bisa menjadi katarsis dalam mengakselarasi kesejahteraan masyarakat desa
Melihat fakta tersebut, maka UU Desa menjadi solusi cerdas agar kesejahteraan masyarakat desa segera terwujud. Pun, di satu sisi UU Desa mampu membendung arus urbanisasi, yang selama ini jumlahnya fantastis setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena kota, terutama kota-kota besar menjadi tumpuan mata pencaharian hidup yang dinilai mampu menyulap pendapatan dari desa ke kota. Hijrahnya masyarakat desa ke kota karena kota dinilai mampu menjadi alternatif dan bisa mengubah kisah sedih yang menderanya selama di desa.
UU Desa dan Program Pemberdayaan
Banyak hal yang perlu dikaji dan dicermati di saat UU Desa ini disahkan. Mengalirnya dana senilai Rp1,4 miliar tidak secara linear menyelesaikan aneka masalah yang mendera desa. Pasal 72 menyita perhatian publik karena desa nanti akan banyak kelimpahan dana yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakatdesa. Tentu tak hanya berhenti di situ. UU Desa juga berimplikasi terhadap program pemberdayaan dimana selama ini sudah berjalan 15 tahun lebih. Program berbasis masyarakat ini seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK) lahir pada tahun 1998, sementara Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) lahir pada tahun 1999. Keduanya bermetaformosis menjadi PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan pada tahun 2007, saat SBY me-launching program ini di Palu. UU Desa, di satu sisi dinilai menjadi sinterklas atau Imam Mahdi yang akan menyelamatkan masyarakat desa dari penyakit kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi di lain pihak, UU Desa melahirkan kecemasan, keraguan, kekhawatiran kebingungan, utamanya bagi pendamping atau konsultan pemberdayaan, dimana selama ini menjadi tumpuan dan mata pencaharian hidup.
Keraguan atau kecemasan bagi buruh PNPM ini tentu sangat logis. Jika UU Desa diterapkan dan PNPM sudah tutup buku, bagaimana dengan nasib para pendamping? Ribuan bahkan jutaan pendamping, baik pendaping PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM Perkotaan, akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan jika dengan diterapkannya UU Desa ini tenaga pendamping tidak digunakan. Maka ledakan pengangguran S1 atau bahkan S2 tak bisa dielakkan.
Selama ini pelaku PNPM dengan berbangga hati mengatakan sebagai pemberdaya, bahkan pemberdaya sejati. Tetapi tesis itu terbantah manakala melihat fakta saat ini UU Desa segera diterapkan. Ungkapan sebagai pemberdaya bagi pelaku PNPM tak selantang dua tahun yang lalu sebelum UU ini disahkan.
PNPM Di Persimpangan Jalan, Kemana Lagi Kita?
Tema di atas menjadi tema Komunitas Belajar Internal Konsultan (KBIK) Forum Kordinator Kota (Koorkot) dan Asisten CD Mandiri sejawa Timur yang berlangsung di Kota Batu Malang, pada 15-16 Oktober 2014. Tema tersebut mengesankan bahwa kita sebagai pelaku hanya mampu berkeluh-kesah, berseloroh kepada teman sejawat kita yang terombang-ambing karena nasib kita tidak tahu juntrungannya. Tentu kita hanya bisa berkeluh-kesah, karena kapasitas kita hanya sebagai pendamping: jika yang menugaskan kita sudah tidak membutuhkan, jika yang didampingi sudah berdaya atau mandiri, otomatis pekerjaan kita selesai. Logika sederhana ini kadangkala bisa menjadi salah satu dalil bahwa kita berakhir jika masyarakat sudah berdaya.
Tetapi tak segampang itu Negara memperlakukan kita, pelaku atau konsultan pemberdayaan yang jumlahnya mungkin jutaan, juga sebagai warga Negara yang harus dipikirkan nasib dan kesejahteraannya. Kalkulasi matematika, jika pelaku program jumlahnya satu juta dan memiliki tanggungan empat jiwa, maka ada sekita 4 juta jiwa dalam kondisi rentan atau memasuki miskin relatif. Tak lupa pula bahwa KBIK juga membahas mengenai sertifikasi para pelaku program di Jatim yang sampai saat ini belum tahu rimbanya. Sertifikasi bagi pekerja sosial seperti pelaku program sebagai bukti riil bahwa para pelaku memiliki kompetensi dalam melakukan fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat.
Banyaknya keraguan dan kekwatiran pelaku pendamping itu sedikit bisa terobati dengan adanya Peraturan Pemerintah No.43 tahun 2014. Salah satunya adalah pasal 128 ayat (1) pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan (2) Pendampingan masyarakat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan/atau pihak ketiga. (3) Camat atau sebutan lain melakukan koordinasi pendampingan masyarakat desa di wilayahnya.
Sementara itu, dalam pasal 129 ayat (1) point (c) tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang bertugas meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Ayat 2 menyebutkan "Pendamping" sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan/atau teknik
Tidak hanya PP No. 43 itu, jauh sebelumnya UU N0. 13/2011 mengenai penanganan fakir miskin sejatinya sudah menjadi acuan bagi kita sebagai pendamping. Pasal 33 menyebutkan sumberdaya manusia penyelenggaraan penanganan fakir miskin dilakukan oleh tenaga penanganan fakir miskin yang terdiri dari (a) Tenaga Kesejahteraan Sosial (b) Pekerja Sosial Profesional (c) Relawan Sosial (d) Penyuluh Sosial dan (e) Tenaga Pendamping
Tentu berbagai tafsir terhadap UU Desa tidak bisa dihindari. Utamanya dengan keberlangsungan PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM Mandiri Perkotaan. Sejumlah aset dan kelembagaan program yang selama ini menjadi pengelola program dalam membantu warga miskin tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, harapan kita semua bahwa program PNPM bisa saja berakhir bersama rezim SBY, tetapi program pemberdayaan itu tidak sekedar musiman atau bersifat sementara. Semoga. [Jatim]
Editor: Nina Firstavina

Tidak ada komentar: