PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Kamis, 27 November 2014

Mengurai Konflik dalam UU Desa

Madiun, 27 November 2014

Oleh:
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.        
Askot CD Mandiri Kab. Madiun   
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan
Kesejahteraan masyarakat desa kiranya menjadi orientasi pertama dan utama jika kita melihat secara kasat mata lahirnya UU Desa. Walaupun tak bisa ditampik, nuansa politik tak bisa dimungkiri. Pembangunan yang partisipatif dan otonom sudah mengemuka dari tahun 1950-an. Sentralisasi kekuasaan dinilai mereduksi kaidah dan prinsip pembangunan seutuhnya. Solusinya, desentralisasi pembangunan menjadi jawaban atas stagnasi pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia. Tentu kita bisa menilai, diberlakukannya UU otonomi daerah 32/2004 passca perubahan UU No.  22 tahun 1999. Desentralisasi ini memiliki cita-cita dan spirit untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat di daerah. Konsekuensi logisnya adalah pelibatan masyarakat dalam setiap aspek pembangunan multak diperlukan. Partisipasi masyarakat menjadi kuci utama dan pertama dalam pembangunan desa ke depan.
Banyak harapan terkait dengan diberlakukannya UU Desa. Kesejahteraan masyarakat desa merupakan tujuan utama. Walaupun banyak pihak menilai bahwa UU Desa sebenarnya bukan menguntungkan masyarakat desa, tetapi para politisi. Di satu sisi penilaian sebagian kalangan memiliki keabsahan. UU Desa yang dinilai syarat politis tak bisa dihindari. Jangkar sosial dalam legitimasi politik para politisi dengan adanya UU Desa menuai hasilnya pada Pemilihan Legislatif kemarin. Sementara UU Desa akan mengalami persoalan serius manakala kemampuan APBN dalam membiayai 73.000 desa seluruh Indonesia dengan batas maksimal Rp1,4 miliar per desa itu tidak mencukupi. Alih-alih mempercepat kesejahteraan masyarakat desa, justru UU Desa akan melahirkan konflik baru bagi sebagian masyarakat yang ada di desa, baik konflik manifes maupun konflik laten.
Implikasi UU Desa yang mengalokasikan anggaran Rp1,4 miliar, itu menjadi pesona bagi masyarakat desa. Elit desa tentu tidak memiliki tafsir tunggal terhadap UU Desa. Aneka kepentingan tentu menjadi orientasi yang sulit diingkari. Dalam sistem demokrasi yang prsedural dan panggung partisipasi masyarakat yang kurang partisipatif akan menuai banyak persoalan. Demokrasi dan partisipasi lip service akan menjadi pertunjukan yang diperankan oleh segelintir elit desa. Masyarakat miskin hanya menjadi penoton yang kerapkali dijadikan dagangan. Hal ini bercermin terhadap proses terbentuknya berbagai organisasi masyarakat lokal.
Elit desa baik struktural dan kultural tak bisa dilepaskan dan menjadi pemeran kunci dari berbagai aspek pembangunan. Masyarakat miskin tak kuasa menjadi aktor dalam setiap pembangunan, sehingga peran yang digunakan adalah keterlibatan semu tidak bisa dihindari. Hal ini terjadi karena, warga miskin seringkali terkooptasi oleh pemikirannya sendiri bahwa orang miskin tak perlu tahu menahu terkait pembangunan. Bahkan lebih tragis adalah proses peminggiran (segregasi) sosial yang dilakukan elit itu semakin menegaskan ketidakmampuan warga miskin untuk berkiprah dalam panggung pembangunan.
Fakta di atas ini menemukan relevansinya manakala meminjam istilah Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mengenai tipe budaya politik. Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, (1996) menjelaskan mengenai tipe budaya politik.
Pertama, tipe budaya politik parokial (parochial political culture). Dalam hal ini masyarakat sangat rendah dan tidak mau tahu mengenai perubahan sistem politik yang ada. Pengetahuan masyarakat mengenai politik berimplikasi kepada sikap acuhnya kepada struktur politik yang ada. Dan pada gilirannya budaya tunduk terhadap elit yang dinilai memiliki pengetahuan lebih tak bisa dihindari. Lantas apa yang bisa diharapakan manakala budaya masyarakat dengan tingkat kesadaran dan partisipasinya sangat rendah, maka kasta politik tak bisa dihindari. Para elit akan menjadi mufassir terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat miskin yang sebenarnya, reduktif dan ahistoris yang akan terjadi.
Kedua, budaya politik subjek (subject political culture). Dalam budaya politik masyarakat tipe ini masyarakat sudah menggunakan letupan emosi untuk menilai sistem politik atau objek politik, sehingga tidak heran masyarakat dalam kategori ini bisa menilai, memilah dan memilih kualitas pemimpinnya. Iklan politik atau simbol-simbol politik seringkali dinilai sebagai produk citra yang sengaja dibangun untuk mengelabui masyarakat bahwa para politisi seolah-olah berpihak kepada warga miskin.
Dan yang ketiga, budaya politik partisipan (partisipant political culture). Inilah puncak tingkatan budaya politik masyarakat. Di mana masyarakat memiliki kesadaran dan pemahaman terhadap politik, dalam hal ini masyarakat sudah mampu melakukan evaluasi dan mengkritisi sistem politik dan kebijakan yang dilakukan oleh Negara.
Jika kita melakukan pisau analissnya Almond dan Verba maka UU Desa akan menjadi buaian mimpi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat miskin yang ada di desa. Tengok saja pembangunan desa selama ini. Acuhnya masyarakat terhadap pembangunan desa dengan anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) menjadi miniatur bahwa partisipasi masyarakat desa terutama masyarakat miskin hanya pepesan kosong belaka. Tradisi feodalistik kerapkali kita temui dalam kepemimpinan pemerintahan desa.
Tak hanya itu, ragam persoalan akan dihadapi oleh pemeritahan dan warga desa. Dana Rp1,4 miliar sebagai “mandat” UU akan menuai konflik manakala dalam implementasinya dana tersebut meleset dengan harapan masyarakat maupun pemerintahan desa. Alokasi anggaran hanya menjadi lipstik para politisi kita tanpa memikirkan kemampuan anggaran yang ada. Dan pada gilirannya, harapan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Di sinilah Robert Gurr (1970), seorang ilmuwan sosial, memberikan analisisnya akan lahirnya konflik dan kekerasan dengan menggunakan teori deprivasi relatif. Gurr menilai bahwa kekerasan muncul karena adanya deprivasi relatif yang dialami masyarakat sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value expectation) dengan kapabilitas nilai(value capabilities) yang dimiliki seseorang. Nilai harapan (value expectation) adalah harapan akan kualitas hidup kehidupan sebagai hak untuk dinikmati. Sedangkan nilai kapabilitas (value capabilities) sebagai kondisi untuk mendapatkan harapan itu. Bahkan, Gurr meyakini bahwa ketidakpuasan deprivatif relatif akan melahirkan terjadinya berbagai aksi kekerasan massal. Karena semakin besar intensitas ketidakpuasan, semakin besar pula dorongan untuk melakukan kekerasan.
Tampaknya UU Desa sebagai angin segar bagi masyarakat desa untuk menikmati kualitas hidup dan kesejahteraan patut diapresiasi. Akan tetapi, jika harapan itu tidak sesuai kenyataan tentu apa yang dikhawatirkan oleh Gurr tidak bisa dihindari. Konflik vertikal antara pemerintahan desa terhadap pemerintahan yang ada di atasnya tidak bisa dihindari. Tuntutan disahkannya UU Desa beberapa tahun yang lalu tidak seindah yang dibayangkan. Akan tetapi, menjadi harapan kita semua bahwa dana Rp1,4 miliar itu tidak hanya menjadi konsumsi politik dan dagangan para politisi. Pun tidak hanya sekedar normatif tertuang dalam UU N0 6 2014 maupun PP No 43 2014. Melainkan riil bisa dibuktikan kepada publik. Semoga. [Jatim]

Editor: Nina Firstavina

Tidak ada komentar: