PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Senin, 22 Desember 2014

Kepala Bappenas: Tangani Permukiman Kumuh, Perbaikan Fisik saja Tidak Cukup

Jakarta, 22 Desember 2014

Oleh:
Nina Firstavina, SE  
Editor Web
PNPM Mandiri Perkotaan   
Penanganan permukiman kumuh tidak akan cukup hanya dengan perbaikan fisik. Menghilangkan kawasan kumuh harus disertai pula dengan pembangunan manusia dan sosialnya. Jika manusianya tidak diperkuat kapasitasnya, yang terjadi hanyalah perpindahan bibit kekumuhan saja.
Untuk itu, berbagai approach harus dilakukan oleh berbagai sektor, (yakni) aksi pemerintah dan sosial yang berjalan bersamaan. “Ubah sarana prasarana, ubah nilai, ubah perilaku. Itu akan berimbas juga kepada kesejahteraan ekonomi masyarakatnya ke depan. Meningkatkan kehidupan ekonomi, daya beli dan penghasilan rumah tangga. Ubah perilaku dan nilai adalah syarat lain yang dibutuhkan untuk mengubah wajah kota,” jelas Kepala Bappenas Andrinof Chaniago saat membuka acara Peluncuran Program Nasional Penanganan Permukiman Kumuh tahun 2015-2019 di Executive Lounge Bappenas, Jakarta, pada Senin, 22 Desember 2014.
Ia menegaskan bahwa mengubah fisik, sarana-prasarana saja tidak akan bisa membuat Indonesia mencapai 0% kumuh di tahun 2019. “Saya kira kata kolaborasi di sini sangat tepat. Semua agen dan aktor pembangunan harus mau aktif bekerja sama. Pusat, daerah, kepala daerah, hingga kelurahan. Begitu juga pihak di luar pemerintah, seperti penggiat pembangunan, perguruan tinggi, asosiasi, dan sebagainya. Seorang Ibu Risma saja tidak cukup, walau diakui perannya sangat penting. Jika leader tidak dibantu dengan sosial yang aktif maka kumuh tidak akan hilang,” tandas Kepala Bappenas.
“Tantangan kita sangat berat. Jumlah penduduk yang tinggal di kota kita sudah mencapai lebih dari 50%, dengan pendapatan yang rendah. Meski tidak seperti India, tapi kalau kita tidak berhati-hati, Indonesia bisa mendapat predikat salah satu wilayah slum terluas, terbanyak, di dunia,” ujar Andrinof Chaniago di hadapan sekira 100 undangan.
Hadir dalam kegiatan, selain Kepala Bappenas adalah Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy S. Priatna, Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU & Pera) bidang Ekonomi dan Investasi Rido Matari Ichwan mewakili Menteri PU & Pera Basuki Hadimuljono, pejabat Eselon I dan II dari lembaga dan kementerian terkait, para kepala daerah dan wakil daerah kota/kabupaten percontohan, termasuk pihak konsultan dan lembaga donor Bank Dunia. Tampak hadir pula dalam acara adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Banjarmasin H. Muhidin, Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar dan Wali Kota Malang Muhammad Anton.
Acara dibuka dengan cara yang cukup unik. Kepala Bappenas, perwakilan dari kementerian dan kepala daerah undangan diajak berdiri di hadapan foto berbingkai. Lalu foto bernuansa kumuh bernuansa sepia di dalam bingkai tersebut dirobek. Setelah robek, tampaklah foto di baliknya. Foto lingkungan lebih bersih dan tertata rapi dengan warna cerah dan indah. Hal ini dilakukan sebagai simbol tekad semua pihak, pemerintah pusat, daerah, dan stakeholder terkait, untuk merobek kekumuhan dan menggantinya dengan permukiman rapi, layak dan sehat.
Sembilan Kota/Kabupaten Penerima PLPBK Jadi Percontohan
Acara peluncuran ini juga diramaikan dengan pameran foto kegiatan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) dari sembilan kota/kabupaten percontohan atau best practices penanganan permukiman kumuh. Kesembilan kota/kabupaten itu adalah Kota Semarang, Pekalongan, Banjarmasin, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Kabupaten Tangerang.
Pada kesempatan itu Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU & Pera) bidang Ekonomi dan Investasi Rido Matari Ichwan mengungkapkan keterbatasan dana APBN menjadi tantangan tersendiri dalam penanganan permukiman kumuh. Kolaborasi pemerintah dalam pendanaan sudah dilakukan dalam bentuk penganggaran APBD, provinsi, swadaya masyarakat, serta pinjaman luar negeri. Di sisi lain, terdapat dana Corporate Social Responsibility (CSR). “CSR ini adalah peluang yang harus dimanfaatkan. Kita bisa bersama-sama menangani permukiman kumuh secara terpadu. Apalagi mengingat karakteristik kekumuhan itu berbeda maka cara untuk menanganinya juga berbeda,” katanya.
Ada tiga cara menangani kumuh, lanjut Rido Matari. Pertama, dengan cara pemugaran. Ini cocok dilakukan untuk skala lingkungan kumuh ringan. Kedua, peremajaan. Upaya ini cocok untuk tingkat kekumuhan sedang sampai berat. Ketiga, permukiman kembali. Cara ini adalah memindahkan warga dari lokasi kumuh yang bisa membahayakan atau rawan bencana, seperti ancaman longsor. Contoh yang sudah dilakukan oleh Kementerian PU dan Pera dalam hal ini adalah Rumah Susun Sederhana dan Sewa (Rusunawa) dan New site Development. Pada tahun 2012, telah dilakukan program Rusunawa sebanyak 353,5 Twin Block (TB).
Sementara itu, saat menyampaikan laporan pelaksanaan penyusunan kebijakan penanganan kumuh 2015-2019, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy S. Priatna mengatakan, tidak hanya kualitas fisik yang diperhitungkan di sini. Tapi juga kapasitas masyarakat. Menurutnya, hingga Oktober 2014, tercatat ada 38.431 Hektare permukiman kumuh yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. “Ada koreksi data di sini, Pak Kepala PPN. Sebelumnya kita mencatat ada 37.407 Hektare kawasan kumuh. Namun data dari Kementerian PU dan Pera bekerja sama dengan Pemda DKI mencatat sebenarnya ada 38.431 Hektare permukiman kumuh. Ini sungguh tantangan yang besar bagi kita semua,” tandasnya.
Ia melanjutkan, berdasar hasil kajian SAPOLA sejak 2012, pada umumnya penanganan kumuh yang ada belum terpadu. Ada upaya penanganan kumuh di daerah, sudah efektif, tapi karena skalanya masih lokal, dampaknya tidak luas. Sehingga belum bisa direplikasi untuk lokasi lain. Untuk itu Program Nasional Penanganan Permukiman Kumuh ini bisa jadi platform kita dan dilakukan secara berkolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan para stakeholder terkait,” kata Dedy.  [Web PNPM-MP]
Dokumentasi lainnya:

Tidak ada komentar: