PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan
Bersama Membangun Kemandirian

Rabu, 19 November 2014

Teori Pemberdayaan Ala PNPM VS Kartu Sakti

Pariaman, 19 November 2014

Oleh:
Yusrizal  
Koorkot Pariaman
KMW/OC 1 Sumatera Barat
PNPM Mandiri Perkotaan   
Sakali Aia Gadang, Sakali Tapian Barubah. Demikian ungkapan dalam pepatah-petitih orang Minang, yang artinya (lebih kurang) adalah “Tiap pergantian pemimpin akan selalu membawa perubahan sesuai dengan keinganan sang pemimpin”. Kondisi ini jua berlaku terhadap nasib bangsa ini pada umumnya dan PNPM sebagai sebuah program pemberdayaan pada khususnya.
Terhitung sejak 2007 dengan label PNPM dalam kontekstual pemberdayaan turut mewarnai pembangunan bangsa ini. Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya PNPM telah membumbui jalannya roda pembangunan di tengah masyarakat. PNPM telah cukup banyak berbuat dan telah dirasakan manfaatnya oleh jutaan masyarakat Indonesia. Memang tidak sedikit pula yang meragukan kesuksesan PNPM sebagai sebuah program dalam kontekstual pemberdayaan.
Secara lugas pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Dari definisi tersebut terlihat ada tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat.
Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali. Seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dari beberapa orang pakar pemberdayaan yang coba saya simpulkan ada beberapa prinsip dasar untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya atau mandiri, antara lain:
Pertama, penyadaran. Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, ibaratkan seseorang yang tertidur harus dibangunkan dari tidurnya. Demikian jua halnya dengan masyarakat kita harus dibangunkan dari “tidur” keterbelakangannya. Orang yang pikirannya tertidur merasa tidak mempunyai masalah, karena mereka tidak memiliki aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus diperjuangkan.
Penyadaran berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar bahwa mereka mempunyai tujuan dan masalah. Masyarakat yang sadar juga mulai menemukan peluang dan memanfaatkannya, menemukan sumberdaya yang dimilikinya. Masyarakat yang sadar menjadi semakin tajam dalam mengetahui apa yang sedang terjadi baik di dalam maupun di luar masyarakatnya. Masyarakat menjadi mampu merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan aspirasinya.
Kedua, pelatihan. Pendidikan di sini bukan hanya belajar membaca,menulis dan berhitung, tetapi juga meningkatkan keterampilan-keterampilan bertani, kerumahtanggaan, industri dan cara menggunakan pupuk. Juga belajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh untuk mengetahui bagaimana memakai jasa bank, bagaimana membuka rekening dan memperoleh pinjaman. Belajar tidak hanya dapat dilakukan melalui sekolah, tapi juga melalui pertemuan-pertemuan informal dan diskusi-diskusi kelompok tempat mereka membicarakan masalah-masalah mereka.
Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang. Perlu ditekankan bahwa setiap orang dalam masyarakat harus mendapatkan pendidikan, termasuk orang tua dan kaum wanita. Ide besar yang terkandung di balik pendidikan kaum miskin adalah bahwa pengetahuan menganggarkan kekuatan
Ketiga, pengorganisasian. Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih keterampilan, tapi juga harus diorganisir. Organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan dengan cara yang teratur. Ada pembagian tugas di antara individu-individu yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing dan ada kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari beberapa gelintir orang tapi kepemimpinan di berbagai tingkatan.
Masyarakat tidak mungkin diorganisir tanpa pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara rutin untuk mengambil keputusan-keputusan dan melihat apakah keputusan-keputusan tersebut dilaksanakan. Wakil-wakil dari semua kelompok harus berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Selain pertemuan-pertemuan rutin, catatlah keputusan-keputusan yang telah diambil. Notulensi itu akan dibacakan dalam pertemuan berikutnya untuk mengetahui apakah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut sudah melaksanakan tugasnya atau belum.
Tugas-tugas harus dibagikan pada berbagai kelompok, termasuk kaum muda, kaum wanita, dan orangtua. Pembukuan yang sehat juga sangat penting. Semua orang harus mengetahui penggunaan uang dan berapa sisanya. Pembukuan harus dikontrol secara rutin misalnya setiap bulan untuk menghindari adanya penyelewengan.
Keempat, pengembangan kekuatan. Kekuasaan berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila dalam suatu masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi, orang-orangnya akan merasa tak berdaya dan tak berkekuatan. Mereka berkata: kami tidak bisa, kami tidak punya kekuatan.
Pada saat masyarakat merasa memiliki potensi atau kekuatan, mereka tidak akan mengatakan lagi: kami tidak bisa. Mereka akan berkata: kami mampu! Masyarakat menjadi percaya diri. Nasib mereka berada di tangan mereka sendiri. Pada kondisi seperti ini bantuan yang bersifat fisik, uang, teknologi, dan sebagainya. Hanya sebagai sarana perubahan sikap.
Bila masyarakat mempunyai kekuatan, setengah perjuangan untuk pembangunan sudah dimenangkan. Tetapi perlu ditekankan kekuatan itu benar-benar dari masyarakat bukan dari satu atau dua orang pemimpin saja. Kekuatan masyarakat harus mengontrol kekuasaan para pemimpin.
Kelima, membangun dinamika. Dinamika orang miskin berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dalam konteks ini keputusan-keputusan sedapat mungkin harus diambil di dalam masyarakat sendiri, bukan di luar masyarakat tersebut.
Lebih jauh lagi, keputusan-keputusan harus diambil dari dalam masyarakar sendiri. Semakin berkurangnya kontrol dari masyarakat terhadap keputusan-keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa orang-orang tidak mengetahui keputusan-keputusan tersebut atau bahkan keputusan-keputusan itu keliru. Hal prinsip bahwa keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan atau sasaran.
Beberapa poin di ataslah yang telah dilakukan oleh PNPM selama ini di masyarakat melalui programnya. Namun apalah hendak dikata seiring dengan berjalannya waktu dan suksesi kepemimpinan nasional kita seolah-olah keberadaan PNPM bagaikan air di daun keladi. Memang belum ada seorangpun yang mau dan berani mengatakan pola seperti PNPM ataupun program sejenis berlanjut atau tidak. Tapi menilik arah kebijakan pemerintahan yang ada seakan PNPM akan tinggal kenangan, demikian jua halnya dengan konsep pemberdayaan yang diterapkannya.
Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) ala pemerintah kita sekarang seakan menasbihkan, memproklamirkan bahwa proses pemberdayaan bukanlah jawaban untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Masyarakat kita tengah digiring ke arah nan jauh berbeda dan berseberangan jalan dengan konsep pemberdayaan yang selama ini kita agung-agungkan. Terlepas dari segala macam dalil yang telah disampaikan kenapa dan untuk apa kartu ini diterbitkan. Terbebas dari dalil pengalihan subsidi dari yang bersifat komsumtif ka arah yang lebih baik dan lain sebagainya. Terlepas dari segala gonjang-ganjing harga minyak dunia yang tengah turun dan kita justru menaikkan harga minyak, biarlah itu berada pada lingkaran perdebatan politis.
Namun, yang coba saya ambil benang merahnya adalah kita tengah menggiring warga kepada jalur “lebih baik jadi tangan di bawah” dan menjadi bangsa yang dimanja dan dininabobokkan untuk jangka waktu nan singkat, alias temporer—jika terlalu vulgar untuk disebut bangsa peminta-minta. Segala macam kartu yang ada hanya akan memberikan ruang dan waktu kepada masyarakat kita untuk terus bermanja-manja, mengandalkan kartu yang ada.
Sampai kapan pola seperti ini akan dijalankan dan negara sanggup untuk mendanainya. Masyarakat bukanlah diberikan pancingnya tapi malah diberikan ikannya. Kebijakan Kartu Sakti yang seakan menjanjikan surga nyata, tapi sejatinya adalah surga yang fana dan sesaat. Bukankah lebih baik kita memberdayakan mereka, memandirikan mereka agar bisa berjalan dan tegak berdiri di kakinya sendiri?
Akhirul kalam semoga saja apa yang saya coba rangkai dan susun ini jauh realitas lapangan ke depannya. Semoga saja bangsa ini lebih cenderung menyadari bahwa tangan di atas jauh lebih baik dari pada tangan di bawah. Jangan hanya terbuai dengan kesenangan dan kenikmatan serta kemanjaan sesaat. Namun lebih mementingkan kemandirian dan bukan hanya menanti serta mengharapkan bantuan.
Jika saja proses pemberdayaan yang sudah berlangsung sedemikian lama dan telah menjadi bagian dari kehidupan warga harus dihentikan dan stop untuk selamanya maka kita sepertinya berjalan mundur jauh ke belakang, dan justru tengah menuju kehancuran bangsa. Semoga saja proses pemberdayaan di masyarakat terus berjalan, terserah apapun itu namanya—jika memang persoalan nama yang menjadi titik sentralnya. Semoga saja. [Sumbar]

Editor: Nina Firstavina

Tidak ada komentar: